Menimbang Pemimpin


Masalah pemimpin (baik organisasi maupun masyarakat) merupakan masalah yang selalu menarik dan patut untuk mendapat perhatian, namun dibalik semua itu, masalah tersebut sering menimbulkan friksi bahkan konflik diametral yang bisa mengganggu kohesifitas sosial, sehingga mau tidak mau integrasi sosial kurang berjalan dengan baik. Sejarah menunjukan bahwa ketika Nabi Muhammad wafat masalah pemimpin telah menjadi concern umat pada saat itu, sampai-sampai hampir menimbulkan perpecahan (akhirnya dicapai kompromi) antara kelompok Muhajirin dan kelompok Anshor, meski pada tahapan selanjutnya masalah kepemimpinan di kalangan umat Islam telah menjadi sumber konflik yang menurut Thaha Husein sebagai suatu Fitnatul Kubro. Dalam perkembangan sejarahnya umat islam mengalami banyak konflik internal yang umumnya bersumber pada masalah kepemimpinan.

Ungkapan di atas pada dasarnya hanya merupakan flash back historis untuk mengingatkan kita semua guna memposisikan diri dengan tepat sesuai posisi dan kewajaran agar tidak terjebak pada kebingungan yang tidak bermakna, namun demikian hal itu tidak berarti harus bersikap apatis dan apriori, prinsipnya tidak melukai pihak lain, dan tugasnya adalah menunjukan bahwa disitu ada luka serta berusaha mengobatinya. Masalah pemimpin baik dalam tataran makro maupun mikro, nampaknya bisa didekati dari berbagai sudut pandang, dalam hubungan ini paling tidak ada tiga pendekatan dalam melihat konstelasi kepemimpinan yaitu 1) pendekatan Politis 2) pendekatan Kultural Sosiologis dan 3) Pendekatan Normatif. Ketiga pendekatan itu diharapkan dapat bersatu – atau paling tidak – paralel, namun memang kenyataan menunjukan bahwa betapa sering terjadi kesenjangan atau bahkan konflik diantara pendekatan-pendekatan tersebut, yang tidak jarang berakibat juga pada konflik di tataran kehidupan masyarakat

1. Pendekatan Politis

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling rentan terhadap pertentangan, karena memang pendekatan politis sarat dengan pertimbangan-pertimbangan kekuasaan, yang sebagian besarnya mengacu pada kepentingan-kepentingan individu don atau kelompok untuk berbagi kekuasaan. Pendekatan ini akan makin diperumit apabila terjadi kesenjangan aspirasi antara representasi rakyat/masyarakat dengan rakyat/masayarakat yang direpresentasikannya, antara kelompok yang merasa harus begini atau begitu dengan kelompok yang melihat fakta politiknya begini atau begitu.

Semua itu memang merupakan suatu dinamika demokrasi, dimana aspirasi nampak telah menjadi semacam pasar persaingan, bargaining, negosiasi menjadi mekanisme solusi yang pada akhirnya pertimbangan pragmatis menjadi sangat dominan di dalamnya. Dalam prakteknya pasar tersebut dikuasai penuh oleh representasi-representasi/tokoh-tokoh masyarakat sementara yang direpresentasikannya tidak dapat berbuat banyak dalam menentukan transaksi, dalam kondisi ini tidak tertutup kemungkinan ada kelompok yang kecewa kenapa keadaannya begini padahal seharusnya begitu, namun politik adalah fakta dengan konstelasi kekuatan-kekuatan yang ada, dan dalam fakta yang demikianlah permainan dilakukan dengan segala seni dan aturan-aturannya. Dengan pendekatan politis, pemimpin yang kondusif (sudah barang tentu secara politis) adalah mereka yang mendapat dukungan rakyat terlepas dari kompeten atau tidaknya serta terlepas pula dari kualifikasi-kualifikasi pemimpin yang diharapkan dengan kualifikasi yang dimiliki pemimpin/calon pemimpin tersebut.

2. Pendekatan sosiologis

Pendekatan ini mengacu pada pendekatan faktual kondisi obyektif masayarakat, yang meskipun tidak artikulatif, namun di dalamnya terpancar suatu aspirasi dan harapan pada pemimpinnya. Masyarakat berharap pendidikan makin meningkat (fakta menunjukan mayoritas masyarakat pendidikannya masih rendah) maka diperlukan pemimpin yang punya kompetensi don komitmen untuk meningkatkannya, masyarakat ingin kehidupan ekonomi makin makmur (fakta menunjukan pendapatan perkapita masih rendah), maka diperlukan pemimpin yang punya kompetensi don komitmen untuk membangun ekonomi yang berorientnsi kerakyatan dengan basis pertanian (fakta menun jukan sebagian besar masyarakat hidup dari pertanian), dan mungkin masih banyak lagi harapan dan aspirasi lainnya sesuai dengan kondisi obyektif sosial kemasyarakatan.

Akan tetapi disamping hal tersebut di atas nampaknya dalam era sekarang ini diperlukan juga pemimpin yang punya visi antisipatif mengingat perubahan sosial yang sangat cepat, maka pemimpin yang siap mengakomodasi perubahan tatananan informasi melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi secara bertahap jelas sangat diharapkan dan tentu saja diperlukan.

3. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif mengacu pada sesuatu yang seharusnya menurut kriteria nilai tertentu, dalam hubungan ini nilai-nilai agama dalam hal ini Islam (mungkin juga ada nilai-nilai lain) menjadi pertimbangan utama dalam melihat masalah kepemimpinan. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa yang menjadi pemimpin mestilah yang paling takwa (kata takwa ini sering menjadi sumpah/janji jabatan), namun secara operasional kata takwa itu sangat teoritis dan abstrak, diperlukan ukuran-­ukuran yang bisa diamati (secara individual mungkin sangat inspiratif operasional namun secara sosial kemasyarakatan perlu ukuran/indikator untuk bisa diamati, hal ini berkaitan dengan konsep takwa itu sendiri yang mencakup Ahwalul badaniyah dan ahwalul qolbiyah) , disamping itu pertanyaannya adalah apakah seluruh dimensi kebutuhan kontekstual (misalnya kompetensi) yang diperlukan seorang pemimpin dapat tercakup dalam konsep tersebut?, disinilah masalahnya.

Ibnu Taimiyah seorang Ulama besar dalam sebuah tulisannya yang ber judul Siyasatu Syar’iyah fi Ishlahir ro’i wa roiyah menganjurkan agar pemimpin yang dipilih adalah yang Ashlah (paling baik dan layak), dan kalau sulit atau tidak ada barulah yang dibawahnya, hal ini mengacu pada sebuah hadist yang menyatakan :

“barang siapa yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum muslimin lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai dari orang yang diangkatnya, maka dia telah berhianat kepada allah dan rasulnya (HR Hakim).

Dalam sebuah kisah dikatakan bahwa Pada saat Rasulullah menaklukan kota mekah dan menerima kunci kabah dari bani syaibah, maka kunci tersebut hendak diminta oleh abbas bin abdul mutholib agar dia memegang dua tugas sekaligus yakni memberi minum jamaah haji dan menjadi pelayan kabah. Menurut Ibnu Taimiyah peristiwa itu menjadi asbabun nuzulnya surat Annisa ayat 58-59 yang mengindikasikan agar rasul tetap mempercayakan kunci itu kepada bani syaibah. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban waliyul amri untuk mengangkat orang yang paling kompeten dan layak menempati jabatan tertentu bagi segala amal ibadat kaum muslimin.

Masalahnya sekarang adalah apa kriteria atau indikator ashlah tersebut? ; serta apa yang harus dilakukan bila indikator tersebut tidak sejalan atau bahkan bertentangan?. Secara umum bila mengacu pada surat AL Qashas ayat 26 ada dua pertimbangan dalam menentukan kriteria Ashlah yaitu Qowiyun dan Amin yaitu kuat dan dapat dipercaya. Kuat mengandung makna otoritas dan kompetensi (di dalamnya secara tersirat memerlukan sifat fatonah) sementara amanat (di dalamnya bisa mengandung makna siddiq) merupakan suatu kualitas takwa yang tercermin dalam integritas pribadi seseorang.

Dalam pemaknaan lebih jauh, mungkin dapat dikatakan bahwa kriteria quwwah mempunyai dimensi kontekstual dengan mengacu pada kondisi obyektif medan yang akan dipimpinnya, dimana medan tersebut (harapan dan aspirasinya) harus terefleksikan dalam kompetensi dan komitmen untuk melaksanakannya, dia punya kualifikasi kemampuan serta telah mengikatkan diri pada tekad untuk melaksanakannya, dan semua itu perlu didasari sikap amanah sebagai cerminan ketakwaan

Masalah berikutnya adalah bagaimana kalau kedua kriteria itu sulit ditemukan dalam suatu kesatuan (dalam kenyataannya memang demikian), untuk masalah ini ada baiknya kita mengambil manfaat dari jawaban Imam Ahmad ketika ditanya tentang dua figur komandan perang, dimana yang satu kuat (punya otoritas don kompetensi) tapi pendosa sedang yang satu lagi sholeh tapi lemah (tidak kompeten) mana yang harus dipilih dan siapa yang tepat untuk dipilih. Da1am kaitan ini beliau (Imam Ahmad menjawab) : Prihal pemimpin (komandan) yang kuat namun pendosa, maka kekuatannya itu untuk menguntungkan umat, sedang kesukaannya untuk berbuat dosa hanyalah berdampak bagi dirinya, sementara itu pemimpin yang sholeh namun lemah, maka kesolehannya hanyalah berdampak bagi dirinya, sedangkan kelemahannya akan berdampak luas bagi umat. Pendapat Imam Ahmad tersebut mungkin masih perlu didiskusikan lebih jauh implikasi-implikasinya, namun sebagai bahan wisata akal nampaknya cukup menarik.

Implikasi dari pemahaman di atas memang bisa tidak sejalan dengan pemahaman umum yang cenderung memilih pemimpin dengan label-label seperti partai, agama, kesholehan dengan atau tanpa imbangan kompetensi, seolah-olah pemimpin kita (orang Islam) harus muslim dan soleh ditambah dengan dari partai tertentu, meskipun tidak kompeten atau kompetensinya di ragukan, dan ini amat berbahaya bagi masyarakat. Untuk itu tugas penyadaran nampaknya harus menjadi concern utama, tugas ini merupakan tugas yang lintas agama, lintas golongan dan lintas partai, bahkan harus bisa masuk wilayah kehidupan masyarakat secara mendalam dan intens guna menangkap esensi harapan dan aspirasi serta mengartikulasikannya secara cerdas, sehingga mampu memenangkan persaingan dalam pasar ide dan aspirasi yang akan makin ketat di masa depan. (uhar suharsaputra)

2 Balasan ke Menimbang Pemimpin

  1. Samosir s.drs. berkata:

    Ass.w.w.wbr, pada saat ini menimbang pemimpin tidak perlu lagi karena Al qur’an dan hadist sudah merupakan petunjuk yang tak bisa ditawar-tawar lagi, bagi siapa yang memilih pemimpin yang tidak berdasarkan Al-qur’an dan Hadist maka suatu pemimpin organisasi maupun pemimpin suatu negara dan sub-sub bagiannya ke bawah tak akan terwujud sesuai dengan yang diharapkan. pada Allah maha pengasih dan penyayang dan mayoritas islam sudah tahu tapi mengapa tidak melaksanakannya. apa yang terjadi jelas kemunafikan dan kita sudah tahu orang munafik jelas masuk neraka (kerusakan, kekacauan, kemelaratan dan lain-lain). saya berdoa smoga yang mengaku dirinya beragama islam agar belajar dan mengamalkan apa yang telah dia tau sesuai dengan kemampuannya.
    di dunia ini sudah banyak belajar tentang fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan) sudah jelas memiliki makna yang baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berorganisasi di segala bidang. jika fungsi manajemen dapat terlaksana seadil-adilnya, maka secara pribadi saya menyatakan bahwa Indonesia ini bisa maju 7 x lipat bahkan lebih dari negara maju saat ini amin. untuk ini marilah kita belajar sampai ke negeri cina, bahkan ke negeri jahudipun, karena dalam Al-quraan sudah dikatakan bahwa Bagi Siapa yang memiliki Ilmu akan diberikan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain, tapi kaum muslim itu sendiri terlena dengan kandungannya tidak mencari jawabannya dengan banyak belajar dan bekerja keras, Mengapa dulu zaman Rasulullah Islam sangat maju karena Amanah dari Allah dilaksanakan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya, sekarang mereka tlah tiada maka sekarang apa yang terjadi apakah setelah meninggal beliau (Muhammad) kita melaksanakan apa yang telah terjadi pada saat perebutan kepemimpinan para sahabat setelah meninggalnya rasul kita laksanakan pada saat ini? pada hal sebenarnya sudah merupakan petunjuk bagi kita sekarang dan penelitian kembali peristiwa tersebut mengapa hal itu terjadi? klo sekrang ini kita masih mencontoh hal tersebut berarti kita pecuma belajar sejarah tersebut.
    nah harapan saya kepada kaum ulama/umarah yang beragama Islam yang mengakui persaudaraan saat nya dimusyawarahkan agar menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan Al-qur’an dan hadist tersebut. Jangan ada lagi kongkalikong tunjukkan bahwa Islam itu merupakan rahmatan lilalamin, jika hal ini dimasukkan ke hati sanubari yang paling dalam, Insya Allah hidup ini akan sesuai dengan harapan setiap orang di dunia ini.
    smoga ( ucapan orang awam) ….

  2. MACHMUDI MZ berkata:

    Pak Doktor Uhar, Bapak luar biasa menulisnya. Bapak, kapan-kapan boleh kah kitra bermitra? saya MACHMUDI MZ, S.P, M.M, CHt ingin mengajak Bapak kapan2 gitu untuk jadi trainer di organisasi saya : OMAH JENIUS INDONESIA consultant. saya senang dengan tulisan Bapak. Kami biasa mentraining guru-guru di pelosok dan kota, konselor untuk pribadi2 yang bermasalah. Matur Nuwun.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.