Pendidikan sebagai Pembudayaan dan Pemberdayaan.

(Makalah disampaikan dlm saresehan pelestarian budaya lokal di Kabupaten Kuningan, diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol Kab Kuningan, 22 Pebruari 2018 di Auditorium Gedung Naskah Linggarjati Kuningan)

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial dan budaya, manusia juga adalah homo educandum, makhluk yang bisa dididik, yang dengannya berkembang kemampuan untuk mendidik, dan interaksi antara mendidik dan yang dididik melahirkan konsep pendidikan dan proses pendidikan, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, dalam masyarakat, dan untuk masyarakat. Apapun namanya, masyarakat memerlukan mekanisme untuk mempertahankan diri dan melanjutkan kehidupannya. Pola nilai, sikap, serta prilaku dengan berbagai variasi kompetensinya merupakan cara yang tumbuh dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan hidup sekitarnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang keberhasilannya akan menentukan hidup dan kehidupannya. Ini bermakna bahwa manusia memerlukan budaya dalam kesadaran historisnya dan pemberdayaan dalam konteks kemampuannya, dan Ini dikuatkan oleh prinsip penyelenggaraan pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (Pasal 4 ayat 3 UU No 20/2003) 

Keberhasilan suatu kelompok mayarakat mempertahankan dan mengembangkan dirinya menjadi khazanah pengetahuan yang dimiliki secara sosial, dan ketika sunatullah berjalan maka keinginan untuk menjadikan semua khazanah pengetahuan dimiliki oleh penerus mereka, mulailah pewarisan nilai, sikap, prilaku dan kompetensi hidup dan kehidupan yang dimiliki terjadi dalam suatu suasana dan kejadian pendidikan yang berjalan alami dalam lembaga keluarga sebagai bagian dari kohesivitas kehidupan sosial masyarakat, sehingga ketika generasi tua meninggal, generasi penerus telah siap dengan pola nilai, sikap, prilaku dan kompetensi yang relatif sama dengan pendahulunya untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya. 

Kondisi-kondisi tersebut pada dasarnya merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat dimana pewarisan nilai-nilai budaya pada awal perkembangannya, menjadi muatan utama yang menjadi isi pendidikan, pembelajaran, karena hanya dengan cara inilah manusia, masyarakat dapat terus berlanjut, berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dan kehidupan, dalam interaksinya dengan alam maupun dengan manusia lain dalam kehidupan individual, sosial masyarakat lokal, regional, nasional, global. Dalam konteks ini, maka Pendidikan dipandang sebagai proses Pembudayaan dalam konteks masa lalu, dan ini tentu akan menjadi modal bagi pemberdayaan terkait dengan masa kini dan masa depan yang sarat perubahan dan sulit dipastikan.

B. Masyarakat, Kebudayaan dan Pendidikan

Masyarakat merupakan kumpulan dan atau pola interaksi manusia dalam suatu bingkai budaya yang khas (aspek keyakinan, nilai, sikap, perwujudan fisik, perwujudan prilaku, perwujudan keindahan). Budaya menjadi nilai-nilai yang disepakati serta perwujudannya terlihat dalam prilaku intelektual, emosional dan sosial, budaya menjadi ikatan komunitas dalam menjalankan peran hidup dan kehidupan dengan variasi segmen serta faktor yang membentuknya. Masyarakat tak pernah membiarkan budaya berhenti pada masanya, budaya membentuk kerangka berfikir yang diyakini sebagai sesuatu yang penting dan harus dilanjutkan oleh masyarakat penerusnya di masa datang, dan dari sinilah  pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai dan budaya secara integral menjadi bagian yang selalu terjadi dalam setiap masyarakat/komunitas. 

Pewarisan nilai-nilai, kecakapan dan ketrampilan pada awalnya merupakan hal yang cukup sederhana dimana orang tua dapat secara langsung melakukannya pada berbagai kejadian pendidikan (pengajaran, pelatihan) dalam kehidupan sehari-hari, karena apa yang terjadi dan dialami oleh orang tua, itulah yang akan dialami oleh anak-anak seiring perkembangan waktu, namun ini jelas hanya bisa efektif dalam bentuk masyarakat post-Figurative yang menurut Margareth Mead (dalam Astrid Susanto, 1986), merupakan masyarakat tradisional dimana generasi yang lebih tua sudah mengalami apa yang baru akan dialami oleh generasi muda, ini berarti bahwa dalam   masyarakat  tradisional golongan Tua memandang bahwa golongan muda akan mengalami perkembangan dalam hidupnya sesuai dengan apa yang telah dialami oleh golongan tua, sehingga nilai-nilai, kecakapan dan ketrampilan yang harus dimiliki relatif sama, dan generasi tua merasa berkewajiban mentransmisikan kepada generasi muda (transmisi vertikal dari atas/generasi tua ke bawah/generasi muda). 

Seiring dengan perkembangan masyarakat melalui berbagai hubungan antar kelompok masyarakat, maka masyarakat kemudian berubah menjadi bersifat co-Figuratif, dimana baik golongan tua maupun golongan muda (anak-anak) sama-sama belum mempunyai pengalaman, sehingga  mengalami kesulitan untuk mentransmisikan  nilai-nilai, kecakapan serta ketrampilan yang perlu disampaikan pada golongan muda. Dalam kondisi ini ketegangan antara golongan tua dan golongan muda merupakan ciri dari masyarakat dan hanya bisa diatasi dengan upaya melakukan adaptasi dari golongan tua agar bisa kompatibel dengan perkembangan yang ada dan yang mungkin ada, inilah masyarakat pre-Figuratif, yang hanya mungkin bisa diwujudkan dengan pendidikan dan komunikasi yang efektif. Dengan demikian pendidikan merupakan unsur penting dalam konteks budaya masyarakat apapun bentuk masyarakatnya dan sistem budayanya.

Setiap masyarakat, sesederhana apapun, dengan budaya yang dimilikinya berusaha untuk mendidik anggotanya khususnya generasi muda menurut cita-cita, harapan yang dimiliki masyarakatnya dan nilai-nilai budayanya, sehingga perbedaan suasana dan kejadian pendidikan jelas akan nampak. Ini berarti akan terdapat perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya karena setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai, pola sikap dan prilaku yang berlainan, sehingga tidaklah sederhana bila suatu saat upaya untuk menyamakan cara mendidik lintas budaya menjadi harapan dan keinginan politik yang mengagregasi kepentingan, harapan dan cita-cita masyarakat yang bervariasi, meskipun esensinya pada dasarnya relatif sama dalam konteks mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakatnya masing masing. Masyarakat memang terus berubah, interaksi antar kelompok masyarakat, kehadiran berbagai nilai-nilai baru seperti agama serta proses asimilasinya jelas menjadi faktor yang menjadikan dinamika sosial budaya masyarakat terus terjadi dengan variasi reaksinya masing-masing, yang jelas semua itu akan mempengaruhi pada berbagai nilai-nilai sosial budaya masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya. 

Kehadiran agama-agama serta berkembangnya kebudayaan yang kuat telah membangun dan mengokohkan nilai-nilai kehidupan tertentu dalam hubungan sosial kemasyarakatan, dan hal ini juga mempengaruhi arah dan tujuan pendidikan sebagai instrumen mewariskan nilai-nilai (baik bersumber dari ajaran Agama, maupun dari tradisi kehidupan sosial), budaya bagi generasi penerus. Generasi tua memandang bahwa generasi muda akan mengalami tahapan kehidupan yang persis atau nyaris sama dengan apa yang dialami generasi tua, sehingga mempersiapkan generasi muda dengan nilai, sikap dan prilaku yang sudah berlaku menjadi suatu keharusan dalam mempertahankan keberlanjutan hidup dan kehidupan. Meskipun terdapat perubahan pola interaksi akibat adanya inovasi praktis tertentu dalam kehidupan masyarakat, namun nilai-nilai dasar hidup dan kehidupan tetap dipandang sebagai bagian yang akan tetap berlaku dan penting dimanapun dan kapanpun hidup itu terjadi.

Dengan peradaban dan kebudayaannya yang cukup tinggi, masyarakat Mesir kuno juga telah menjadikan pendidikan sebagai hal penting dalam mencapai tujuan susila keagamaan agar manusia menjadi makhluk yang berbakti pada dewa-dewa, sehingga penyelenggaranya adalah para agamawan (pendeta). Dalam masyarakat India purba dengan agama Hindunya juga telah melaksanakan pendidikan dimana tujuan pendidikannya adalah menanamkan kesabaran, penyerahan diri, dan kepatuhan; dalam masyarakat china klasik, pendidikannya diselenggarakan oleh negara dengan tujuan mendidik manusia menjadi kepala keluarga yang baik dan setia, ilmuwan dan pegawai pemerintah yang jujur, rajin serta rela berbakti (I Djumhur, 1976); bangsa Sparta Kuno, tujuan pendidikannya adalah membentuk manusia yang penuh keberanian, mampu menghadapi berbagai tantangan, hormat dan patuh terhadap pimpinan, berjiwa patriot dan loyal terhadap negara; bangsa Athena punya tujuan pendidikan membentuk manusia paripurna yang mempunyai kemampuan fisik, keutuhan moral, kemampuan intelektual dan kepekaan terhadap aspek sosial; pada awal kebudayaan Romawi tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang tangguh mental (constantia), berbudi luhur, patuh terhadap tuhan, mampu menguasai diri (modestas), bermartabat (gravitas), bijaksana, dan adil (Soenarya, 2000). Kehadiran agama islam juga telah mempengaruhi pada bidang pendidikan, dimana tujuan utamanya adalah mendidik agar manusia menjadi insan kamil yang dapat berperan sebagai khalifah dimuka bumi, semua itu didasarkan pada nilai-nilai yang dibawakan oleh kitab suci al quran serta tarih nabi yang memberikan contoh bagaimana hidup dan mengisi kehidupan sesuai dengan kehendak kitab suci, sementara itu kelembagaannya sangat fleksibel baik dilakukan di mesjid maupun dirumah sebagaimana kasus Darul Arqam yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran di rumah Al arqam. Yang jelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai agama pada masyarakat, sehingga dapat terwujud masyarakat yang sholeh dan berakhlaqul karimah.

Orientasi pendidikan pada aspek emosional dan moral dalam konteks sosial kemasyarakatan (sikap dan prilaku hidup) merupakan nilai dasar yang menjadi tujuan utama pendidikan, dimana keberagamaan  seseorang (atau nilai-nilai lainnya) merupakan dasar bagi terbentuknya atau terbangunnya manusia  yang tetap menjaga nilai-nilai etika dalam kehidupan masyarakat serta  mampu menerapkannya dalam gerak perkembangan hidup dan kehidupan masyarakat sehingga keberlangsungan serta kesinambungan tradisi dan budaya msyarakat  baik berdasarkan agama ataupun yang lainnya dapat terus terjaga. namun dalam perkembangannya sekarang ini, pendidikan, khususnya persekolahan cenderung lebih berorientasi pragmatis dimana nilai tunai dari sesuatu  kondisi, proses pendidikan, cukup mendominasi dengan kuantifikasi yang menonjol serta ekonomisasi yang juga dominan dalam melihat hasil dari suatu proses pendidikan yang diperankan oleh sekolah, kekaburan pendidikan dan pengajaran, antara pendidikan dan latihan cenderung menjadi bagian yang umum dalam pemahaman masyarakat,  dengan akibat pada makin kurangnya perhatian pada penguatan norma dan nilai prilaku sosial kemasyarakatan yang pada tahap awal perkembangan pendidikan sekolah menjadi orientasi utamanya sebagai bagian penting yang diharapkan masyarakat.

Kondisi tersebut bisa dirunut pada pendidikan di masa penjajahan (bagi negara-negara yang mengalami penjajahan), dimana penjajah mencoba memberikan pendidikan melalui sekolah, meski terbatas dan diskriminatif,  untuk kepentingan penyediaan tenaga kerja murah untuk dimanfaatkan oleh penjajah tersebut, sehingga sekolah menyelenggarakan pendidikan di masyarakat untuk kepentingan di luar masyarakatnya yang berakibat kohesivitas sosial masyarakat menjadi terganggu. T.R. Batten dalam bukunya School And Community (1959) menemukan beberapa fakta terdapatnya keluhan masyarakat akan pendidikan sekolah seperti yang terjadi di Afrika  dimana masyarakat menyampaikan memorandum pada tahun 1935 bahwa sekolah telah mendorong individualisme yang tidak berketentuan yang destruktif bagi elemen-elemen kehidupan komunal, memperlemah ikatan sosial, membongkar tradisi, keakraban, dan penguasaan diri, pengaruhnya (sekolah) adalah merusak dan destruktif. 

Demikian juga laporan Furnivall (dalam Batten, 1959) yang menyebutkan bahwa moral anak-anak sekolah selalu tetap menjadi  bahan pembicaraan, dan  distrik/daerah yang mencapai prestasi/rekord terbaik dalam pendidikan (sekolah) justru mencapai pula rekord dalam kriminal. Kondisi ini jelas menunjukan dinamika interaksi antara sekolah dan masyarakat, ketika peran sekolah sebagai lembaga yang dapat menyuntikan perubahan masyarakat bertemu dengan kondisi masyarakat yang pragmatis, yang diiringi dengan melemahnya penanaman nilai budaya, dan hal seperti itu cenderung terjadi di berbagai negara terutama yang mengalami penjajahan yang penyelenggaraan pendidikan sekolahnya bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan untuk kepentingan ekonomis penjajah yang berati juga untuk kepentingan budaya asing.

Kondisi demikian, sayangnya tidak banyak berubah, bahkan cenderung dipertahankan sesudah negara-negara jajahan mengalami kemerdekaan, hal ini diperkuat dengan mitos pembangunan yang harus menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa. disamping itu perkembangan iptek yang sangat cepat telah menjadikan negara-negara berkembang mempunyai idola baru masyarakat yakni masyarakat dan negara-negara maju yang notabene penjajahnya, sehingga orientasi dan tujuan pendidikan sekolah juga cenderung mengarah pada terwujudnya masyarakat iptek yang makin mendekati masyarakat maju, kondisi ini mengakibatkan pendidikan sekolah tidak terarah pada masyarakatnya sendiri, melainkan pada masyarakat yang lain, meskipun secara tersurat tetap mengklaim sebagai mengakarkan dirinya pada budaya masyarakat setempat, namun cenderung tidak paralel dengan proses dan kontennya pendidikan di sekolah.

Memang pendidikan tidak dimaksudkan untuk membawa generasi penerus pada kehidupan masa lalu, namun juga jangan sampai dilepaskan begitu saja pada kehidupan masa depan tanpa mengikatkan diri dengan masyarakatnya. Masyarakat terus berubah dengan cepat, masa depan yang akan dijalani oleh generasi muda tidaklah terlalu jelas, sehingga kejutan masa depan menjadi bagian yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Masa depan akan tetap menjadi kejutan, kejutan masa depan, dimana akan ada tekanan yang mengguncangkan dan hilangnya orientasi yang dialami oleh individu-individu jika kita menghadapkan mereka dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat (Alvin Toffler, 1972). Banyak perubahan yang terjadi dalam waktu yang bersamaan akan membuat individu dan masyarakat mengalami kegamangan, karena kepastian menjadi sulit dan keterputusan menjadi bagian kehidupan, ini berarti apa yang akan dialami generasi penerus belumlah akan menjadi jelas, dan harus mempersiapkan generasi muda dengan kemampuan prima yang fleksibel, serta adalah bijak, bahkan kewajiban yang bijak bila nilai-nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat tetap menjadi perhatian utama pendidikan sebagai dapat menjadi fondasi hidup dan kehidupan generasi penerus Masyarakat dan Bangsa.

C. Penutup

Demikian pengantar yang nampaknya perlu untuk menjadi pemahaman kita bersama dalam menentukan arah, fondasi serta basis bagi Pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan itu merupakan bagian dari suatu budaya masyarakat dalam mempertahankan dan melanjutkan hidup dan kehidupan masyarakat dan komunitasnya. Bangsa Indonesia tentu menyelenggarakan pendidikan, dengan biaya besar, untuk menjadikan generasi penerus sebagai generasi bangsa indonesia yang berbudaya dan berkepribadian Indonesia, bila analoginya kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan lokal, maka Pendidikan bagi orang sunda tentu bertujuan menjadikan orang sunda dengan kepribadian dan berbudaya sunda, karena tidaklah mungkin meminta bangsa lain mendidik bangsa kita berkepribadian dan berbudaya bangsa kita, orang sunda tak bisa minta orang diluar sunda untuk mendidik orang sunda dengan kepribadin dan berbudaya sunda, jadi kitalah yang memikul tanggung jawab baik secara nasional, maupun regional serta lokal yang dapat memberi efek kuat dalam internalisasi nilai, sikap, serta prilaku yang Logis (benar), Etis (baik), dan Estetis (Indah) yang berorientasi kesundaan sekaligus dalam bingkai keindonesiaan. Sebagai Upaya Pembudayaan, Pendidikan perlu mendasarkan pada fondasi dan nilai2 budaya yang mengikat masyarakatnya, pendidikan menjadi upaya untuk menjadikan budayanya sebagai orientasi dan fondasi nilai dalam berfikir, bersikap dan berprilaku generasi penerus, dimana pendidikan dalam semua jalur dan jenjangnya menjadi arena intensif dalam internalisasi budaya pada peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, disini diperlukan suatu GERAKAN,yaitu  GERAKAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN, sehingga perkembangan global dg berbagai nilai-nilainya dapat tetap diadopsi dan diadaptasi dengan tak menggoyahkan nilai-nilai budaya daerahnya, bahkan dalam nilai budayanya semua perubahan serta budaya global diperlakukan dg tepat….INSYA ALLAH 

D. Daftar Pustaka

Alisjahbana, Sutan Takdir (1988) Kebudayaan sebagai Perjuangan, Jakarta, PT Dian Rakyat

Capra, Fritjof. (1998), Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Budaya, YBB.

Gazalba, Sidi (1975). Antropologi Gaya Baru (Jilid 1 dan 2), Jakarta, Bulan Bintang

——-, (1980). Kebudayaan, (Jilid 1 dan Jilid 2), Jakarta, Bulan Bintang

Koentjaraningrat, (1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta

Naisbitt, John., Aburdene, (1990). Megatrend 2000, William Marrow & Co

Raliby, Osman (1962) Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta Bulan Bintang. 

Suharsaputra, Uhar . (2004).  Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar, Rumah Buku Press

——-, (2010) Administrasi Pendidikan, Bandung, Refika Aditama

——-, (2012).  Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan,  Bandung, Refika Aditama  

——-, Uhar (2013) Administrasi Pendidikan, (edisi revisi) Bandung, Refika Aditama

——-, (2013).  Menjadi Guru Berkarakter,  Bandung, Refika Aditama  

——–, (2015). Manajemen Pendidikan Perguruan Tinggi, Refika Aditama, Bandung

——-, (2016). Kepemimpinan Inovasi Pendidikan, Bandung, Refika Aditama

Sumahamijaya, Suparman. et.al (2003). Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan, Angkasa, Bandung

Supriadi, Dedi. (1996). Kreatifitas, Kebudayaan, & Perkembangan IPTEK. Bandung : Alfabeta.

Susanto, Astrid, (1984), Komunikasi Masa, Jakarta, Bina Cipta

Toffler, Alvin (1970), The Future Shock, New York, Bantam Books

——, (1980). The Third Wave, New York, Bantam Books

Tentang Dr. Uhar Suharsaputra

KONSULTAN PENDIDIKAN PENELITI PENULIS
Pos ini dipublikasikan di Tidak Dikategorikan. Tandai permalink.