Filsafat Pendidikan (3)

Semua praktek pendidikan, temasuk  apa yg dilakukan para pendidik/Guru sebenarnya dibangun diatas asumsi asumsi filosofis, dan titik tolak filisofis yg berbeda dapat mempengaruhi praktek2 pendidikan yg berlainan. Dalam kaitan  pemahaman awal akan aliran pemikiran filsafat menjadi bagian penting untuk memahami kenapa suatu praktek pendidikan tertentu dilakukan. Berikut akan dikemukakan aliran2 filsafat dasar ,(sering juga disebut tradisional) yg pertama faham IDEALISME.  Faham ini berpandangan bahwa yang nyata itu adalah ide,  sehingga penekanan di berikan pd realitas gagasan, pemikiran, atau akal fikir ketimbang pada objek2 material. Faham ini juga menunjukan pd pemikiran bahwa ide, pemikiran sebagai sesuatu yg nyata, sedang materi adalah akibat yg ditimbulkan oleh ide, akal fikir, mind/jiwa.

Dalam pemikiran Idealisme (Ideisme) dunia materi adalah sesuatu yg tak bisa dijadikan dasar kebenaran, karena selalu berubah dan akan terus berubah, oleh karenanya kebenaran harus berdasar pada sesuatu yg bersifat tetap, ide itulah sebagai kebenaran absolut. Dalam setiap dunia fisik materi selalu terdapat ide universal tentangnya. Misalnya: kita punya teman si A pada waktu belajar di SD, sesudah itu kita berpisah karena menempuh jalan hidup yang berbeda sesudah puluhan tahun kita bertemu lagi dg si A dalam kondisi fisik yg sama sama sudah sepuh (pareot) karna udah tua, nah pd waktu ketemu itu kita yakin bahwa itu si A, darimana keyakinan itu padahal dulu dia kekar badannya, sementara ketika ketemu udah rapuh…? Kalau dari fisik jelas sudah beda karena berubah, tapi ide, fikiran kita ttg si A masih tetap, yakni si A ini adalah si A yg dulu teman saya di SD, kita tak bisa menolak si A sebagai bukan teman SD saya hanya karna fisiknya udah berubah, kita akan berpegang pada ide kita ttg si A, sebagai sesuatu yg tetap. Dg faham idealisme ini, maka pendidikan harus menganjarkan siswa pada sesuatu yg tetap, sesuatu yg abadi, bukan pd sesuatu yg berubah. Bukan pada kebenaran si A waktu di SD seperti itu, sedang sekarang seperti ini, tapi pada kebenaran ttg ide  si A yg tak berubah baik dulu dan sekarang, tetaplah dia itu si A. Klw anda ketemu teman minggu lalu mukanya bersih mulus, tp sekarang ketemu dia lagi banyak jerawatnya, apakah anda yakin bahwa teman anda yg ketemu sekarang adalah teman anda yg minggu lalu ketemu juga, klw yakin kenapa apa dasar keyakinan anda….Ide anda tentang teman anda lah yg anda yakini bahwa itu tetap teman anda.

IDEALISME (IDE-ISME) berefek pada pendidikan melalui pemikirannya bahwa pendidikan haruslah mengarahkan peserta didik pada hal hal yg tetap, yaitu ide ide yg tak kan lekang oleh waktu, dulu benar, sekarang benar dan nantipun benar. Peserta didik dipandang sebagai mikrokosmos yg harus mengarahkan dirinya pd kebenaran mutlak makrokosmos. Dalam alam semesta dimana realitas terpusat pada ide-ide (gagasan), maka aspek terpenting, paling penting adalah intektualitas, karena itulah yg dapat mengantarkan peserta didik pada tercapainya pengetahuan yg benar. Oleh karena itu faham idealisme memfokuskan kajiannya pd perkembangan mental dan kurikulumnya menekankan pd kajian ilmu kemanusiaan (hamanities), sejarah dan kajian sastra, karna ini dapat membantu peserta didik menemukan sosok manusia dan masyarakat ideal. Disamping itu matematika dipandang ilmu yg cocok karena berdasarkan prinsip universal, kalau 2 x 5 = 10, maka itu adalah benar dulu sekarang dan nanti, sehingga idenya bersifat tetap. Guru dipandang punya kedudukan sangat utama karena merupakan contoh hidup yg lebih dekat dg dunia ide absolut (makrokosmos) dibanding peserta didik. Guru punya pengetahuan lebih ttg dunia akal fikir dan ide ide, sehingga mampu menjembatani peserta didik (mikrokosmos) dg makrokosmos. Disamping itu guru juga merupakan contoh keluhuran etika dan jadi pola panutan peserta didik dlm kehidupan intelektual sekaligus perwujudannya dlm kehidupan sosial.

Dalam faham ini Cara pendidikan/pembelajaran yg utama adalah ceramah (lecturing) dimana guru yg lebih akrab dan dekat  dengan dunia akal fikir, dunia ide menyampaikan ide ide untuk dapat beralih pada peserta didik, dg begitu terjadilah penyerapan ide oleh peserta didik. Menurut Knight (Issues and Alternatives in Educational Philosophy, 2007) dlm pemikiran pengikut filsafat Idealisme, perpustakaan cenderung menjadi pusat aktivitas pendidikan, karena disinilah siswa bergumul dg ide2 umat manusia, dan kelas hanya merupakan perluasan saja dari perpustakaan. Dlm pembelajaran guru dapat saja berdiskusi tp dengan maksud pendalaman ide2/gagasan2, serta penggalian potensi dirinya, seperti Socrates yg slalu bertanya guna tumbuhnya kebenaran atas perkembangan dan pemikiran individunya masing2 (anak, orang, peserta didik).  Seorang anak (peserta didik) diyakini sebagai bagian dari jiwa universal (makrokosmos) yg harus mengembangkan potensinya lebih agar makin mendekati jiwa tersebut dan harmoni dengannya. Idealisme dlm pendidikan juga memberikan perhatian yg cukup kuat pd pendidikan agama sebagai kebenaran yg abadi tak tergantung waktu. Dalam pandangan Idealisme, pendidikan merupakan proses abadi dlm penyesuaian utama dengan perkembangan fisik dan mental secara bebas dan sadar dg perintah Tuhan, yg diwujudkan dlm kehidupan manusia pd aspek  intelektual, emosional, dan prilaku (Horne, The Philisophy of Education).

Dengan pemikiran seperti itu, idealisme dg penekanan pd ide, gagasan yg mutlak di masa lalu, cenderung punya kebijakan sosial yg konservatif, karena dunia yg tak berubahlah, yg bersifat tetap yg merupakan realitas puncak yg sebenarnya. Dg demikian manusia, termasuk peserta  didik harus  menata hidupnya selaras dg ide, gagasan yg mutlak tadi. Dlm konteks sekolah yg utama adalah peran pelestarian warisan budaya (nilai2), sehingga sekolah tak bisa jadi agen perubahan, dan kecenderungannya, sekolah lebih pada mendukung status quo…

Komentar Dinonaktifkan pada Filsafat Pendidikan (3)

Filsafat Pendidikan (2)

Bidang/Cabang Filsafat seperti disebutkan terdahulu akan memberi menjadi bagian penting dalam kajian filsafat pendidikan baik secara tersurat maupun tersirat, tergantung pada modus filsafat pendidikan dlm mengkaji, mengkritisi bidang pendidikan. Secara umum, berdasar aktivitasnya, Kneller mengemukakan 3 gaya, modus atau cara dalam berfilsafat, yg dapat diterapkan dlm bidang Pendidikan yaitu : 1) SPECULATIVE PHILOSOPHY: Filsafat Spekulatif merupakan cara berfikir filsafat berkaitan dg segala sesuatu yg ada (bidang ontologi/metafisika).  Berfilsafat model ini akan merasa tak puas dg berbagai hal yg khusus (partikular), namun akan melihat dan memikirkan serta mengkaji segala sesuat secara holistik (keseluruhan), saling keterkaitan. Berbagai faktor dlm pendidikan serta posisinya dalam keseluruhan  sistem budaya, religiousness, serta bagai mana itu terkait dengan seluruh sistem kehidupan masyarakat, apakah itu koheren atau tidak. Mengapa pendidikan di indonesia berbeda dg di negara lain?   jawaban dibangun dlm kajian pemikiran keseluruhan, tentu tidak cukup dg hanya mengacu pd undang2, ketentuan semata, namun pada sistem nilai yang berlaku serta keseluruhan faktor yg ada di masyarakat dlm Suatu keseluruhan yg sistematis sistemik. Misalnya sistem pendidikan, persekolahan di suatu negara tak bisa serta merta ditiru dan diterapkan di negara lain, karena suatu sistem pendidikan merupakan suatu proses dinamis interaksi masyarakat dg berbagai faktor budaya, historis dan juga agama yg berlaku dlm masyarakat tersebut. Klw pendidikan di Finlandia, singapura dianggap bagus, bermutu, kemudian diimitasi di indonesia, hal itu dijamin gagal, karena yg terjadi di negara tersebut sesuai dg faktor2 masyarakatnya. Mencangkokkan pohon mangga ke pohon singkong dijamin tak akan berhasil, seberapa besar dana proyek untuk itu dikeluarkan.

Kenapa setiap masyarakat, setiap bangsa mengeluarkan pengorbanan tenaga dan dana besar untuk mengelola penddikan, bukankah itu akan berjalan alamiah melalui belajar dari pengalaman, dari perjalanan waktu yg dilaluinya. Dari sini timbul pertanyaan pokok yakni untuk apa pendidikan? Apakah untuk mempersiapkan hidup dan kehidupan penerus masyarakat di masa depan?, apakah pendidikan itu mempersiapkan hidup masa depan ataukah pendidikan itu adalah kehidupan itu sendiri?, apakah pendidikan itu suatu tujuan atau hanya sebagai alat mekanisme sosial untuk mencapai suatu tujuan?. Pertanyaan2 itu esensinya adalah terkait dg tujuan pendidikan, nilai nilai apa yg harus jadi tujuan pendidikan, apakah nilai kematangan hidup ataukah nilai pragmatis ekononomis, ataukah keduanya, dan bagaimana caranya, kalau itu sudah dipastikan apa yg harus diajarkan dlm proses pendidikan dan pembelajarannya, apakah ilmu2 empiris saja atau pengetahuan ttg nilai2 kebaikan mutlak yg berasal dari Tuhan, atau keduanya. Ini merupakan kajian ttg bagaimana pendidikan harus diarahkan, dijalankan, dan nilai apa yg harus dicapai oleh pendidikan, dan kajian tsb merupakan bagian dari kajian yg masuk dlm model yang ke 2) PRESCRIPTIVE PHILOSOPHY. Model filsafat ini mengkaji dan memikirkan apa yang seharusnya dilakukan terkait dg nilai nilai (Axiologi) yg baik dalam suatu masyarakat manusia. Nilai2 terkait dg etika (baik buruk) dan estetika (indah jelek) yang dalam konteks pendidikan tentu akan melihat apakah pendidikan yg dilakukan harus menjunjung nilai mutlak atau nilai kontekstual, Pendidikan itu harus membangun Manusia matang berakhlak karimah/berkarakter atau harus tunduk pada aspek ekonomis pragmatis seperti siap kerja, atau keduanya, tentu ini terkait pilihan dan itu perlu dirujuk pada nilai2 yg berkembang di masyarakat dan mendialogkannya dg norma norma etika mutlak…that is the main point of speculative philosophy.

Filsafat preskriptif memberikan fokus pa nilai-nilai Etika dan Estetika. Dalam psikologi terutama behavioristik, semua prilaku tidak bisa dikatakan baik atau buruk secara etika, prilaku hanya dilihat apa adanya, namun bagi pendidik  suatu prilaku bisa disebut baik atau buruk, dan disitulah pendidik berperan bagaimana yg baik diperkuat dan yg buruk ditekan dalam suatu proses pendidikan, pembelajaran. Itu merupakan kajian filsafat preskriptif yg berupaya mencari, menemukan dan merekomendasikan prinsip untuk menentukan apakah suatu tindakan itu baik, bermanfaat, serta apa ukurannya untuk itu, serta kenapa hal tersebut harus dilakukan. Belakangan ini psikologisme cukup berpengaruh dalam pemikiran di dunia Pendidikan, banyak ungkapan yg kurang memberi bobot nilai pada prilaku siswa misal: “pendidikan itu untuk menjadikan peserta didik jadi diri mereka sendiri”, “jadilah diri sendiri”, “learning to be”, aktualisasi diri’, “siswa itu tidak ada yg nakal”. Kalau hal ini tidak dicermati dg cerdas dan tepat akan mengganggu pada proses pendidikan yg tanpa tujuan baik dan bernilai. Jadi untuk apa pendidikan kalau siswa didorong untuk jadi dirinya sendiri. Kalau begitu diri yg mana, aspek mana yg harus diwujudkan, padahal pendidikan itu mendidik untuk mencapai tujuan tertentu yg bernilai sesuai nilai2 masyarakatnya. Klw ada siswa 20 lalu dididik menjadi dirinya sendiri maka ada 20 diri, lalu apakah itu menuju pada tujuan pendidikan misal di indonesia salah satu tujuannya manusia berimtak dan berakhlakul karimah, apa hanya karena menjadi diri sendiri akan dibiarkan meski tak sesuai tujuan tadi?. Tentu tidak, sebab tanpa proses pendidikan semua orang akan jadi dirinya sendiri, dan pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan manusia yg dalam dirinya terkandung serta terarah dan berprilaku sesusi nilai nilai yg diyakini dan dikembangkan dlm masyarakat.

Model Filsafat yang ke tiga adalah 3) ANALITIC PHILOSOPHY. yaitu model  yg memfokuskan pada kata kata, istilah dan maknanya (words and meaning). Kajian, pemikirannya ditujukan untuk meneliti, mengkaji istilah2 guna memahami perbedaan makna dalam berbagai konteks yg berbeda. Misalnya dalam bidang pendidikan, makna “pendidikan”, “persamaan kesempatan memperoleh pendidikan”, “wajib belajar”, dsb. Intinya adalah bahwa penggunaan kata2, istilah tidak bisa sembarang sesuai makna yg mengucapkannya, kalau ini terjadi tentu pembicaraan, dialog, diskusi akan kacau balau karena masing2 beri makna sendiri, dan universalitas makna dari suatu kata atau istilah tak kan ada yg akan berimplikasi sulitnya ilmu pengetahuan berkembang. Kita tak bisa buat sendiri lambang kimia dari air meski anda maksudkan untuk air, demikian juga kita tak bisa menggunakan lambang kimia air untuk makna diluarnya.  Misalnya orang memandang atau berfikiran bahwa pendidikan itu membantu peserta didik menjadi dirinya sendiri “be yourself”, apa sebenarnya makna ungkapan kata2 tersebut. Apakah pendidikan itu membimbjng orang jadi individualis, apakah bermakna bahwa pendidikan itu tidak terkait dg kepentingan sosial masyarakat, lalu klw begitu apa makna dari pendidikan bagi peningkaran mutu hidup masyarakat?. Misalnya pejabat mengatakan bahwa “pendidikan dilakukan untuk melahirkan SDM yg beriman dan takwa, cerdas dan berdaya saing”. Apakah makna iman takwa yg dimaksudkannya? Apakah perolehan nilai pelajaran agama yg tinggi? Atau prilaku keimanan dan ketakwaan, klw ya apakah itu terserap pada pelaksanaan pendidikan formal, dan apakah itu dipandang penting, kalau penting kenapa tak jadi dasar kelulusan…kemudian cerdas apa maknanya, apakah hanya terkait dg kemampuan  menjawab soal yg sudah dipelajari materinya, atau kemampuan mengatasi masalah yg akan dihadapinya.. kalau berdaya saing apa maknanya, apakah dg rekan sendiri bersaingnya dlm suatu lingkungan.. ..atau dg orang lain dari bangsa lain, klw begitu apakah yg diperlukan dimasa depan itu benar kemampuan bersaing atau kemampuan bikin jejaring (kerjasama)..itu beberapa pertanyaan kritis ttg makna, namun sebenarnya akan terkait dg model filsafat sebelumnya, oleh karena itu dlm prakteknya ketiganya merupakan suatu kesatuan dari aktivitas filsafat..karna makna tentu ada asumsi filisofisnya serta asumsi kebenaran pengetahuan yg mendasarinya..itulah THREE IN ONE dalam model atau cara berfilsafat yg juga diterapkan dlm pendidikan jadilah FILSAFAT PENDIDIKAN.

Komentar Dinonaktifkan pada Filsafat Pendidikan (2)

Filsafat Pendidikan (1)

Filsafat Pendidikan merupakan penerapan disiplin Filsafat dalam bidang.  Dari segi bahasa Filsafat berasal dari kata “Philo” yg artinya Love (cinta), dan “sophia” yg srtinya kebijaksanaan (wisedom). Jd FILSAFAT dapat dimaknai sebagai “Cinta pada kebijaksanaan”, Filosof (orang yg berfilsafat) adalah orang yng selalu berusaha untuk mencari serta berusaha mencapai kebijaksanaan, dan itu berarti tidak akan merasa puas dan percaya begitu saja akan apa yg dilihat, didengar, dan dirasa dalam kehidupan, namun akan terus berfikir dg menggali sampai mendalam (ke akar akarnya) agar ditemukan suatu hakekat kebenaran sebagai dasar kebijaksanaan. Oleh karena itu secara istilah, Filsafat dapat dimaknai sebagai berfikir radikal (mendalam sampai akar) dg cara rasional, sistemik, sistimatis, objektif agar dapat diperoleh pengetahuan universal yg berlaku dimanapun dan pada siapapun juga.

Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Dg memperhatikan berbagai pendapat akhli. Ciri berfikir filsafat dapat dikemukakan sbb, ; 

1. Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)

2. Radikal :: berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya

3. Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.

4. Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis

5. Komprehensif, universal : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).

6. Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia secara keseluruhan 

Memang diakui terdapat beberapa kesamaan ciri berfikir ilmu dan berfikir filsafat, namun berfikir ilmiah harus bersifat empiris, bisa dibuktikan dg observasi, eksperimen, dan ilmu tak mengkaji sesuatu yg mungkin ada, dan ttg hakekat sesuatunya, olehkarena itu berfikir filsafat tentu lebih mendalam, hal yg tidak bisa dijawab ilmu karena tidak empirik, filsafat memikirkannya. Jika ilmu pendidikan berbicara ttg perlunya tujuan pendidikan menanamkan keimanan dan ketakwaan karena UU mengatakan demikian, maka filsafat pendidikan berbicara apa itu keimanan ketakwaan, dan kenapa itu perlu, serta apakah pelaksanaannya sejalan dg tujuan tersebut?, kenapa negara lain tidak menjadikan imtak sebagai tujuan…dsb pertanyaan yg tak bisa dijawab ilmu pendidikan, dan disitulah filsafat pendidikan bergerak. Berfikir ilmu itu sederhananya adalah berfikir “rasional empiris faktual”, sedang berfikir filsafat itu “rasional koheren logikal”. Seorang ilmuwan tidak serta merta seorang filosuf, namun dlm sejarah mayoritas filosuf adalah ilmuwan pd awalnya, dan bergerak jadi filsuf ketika ilmu tak mampu memberi jawaban akan suatu soal atau masalah yg dipertanyakan, disamping juga ada yg berawal dari teolog/akhli agama. EINSTEIN adalah ilmuwan ketika bicara teori relativitas, tapi dia filsuf ketika mengatakan bahwa “Tuhan tidak sedang bermain dadu”. ALGhazali akhli Agama ketika bicara “Ihya Ulumuddin”, tapi dia Filsuf ketika bucara “Tahafut Alfalasifah” Ibnu Rusy adalah akhli agama/fiqh ketika bicara ttg “Budayatul Mujrahid”, tapi dia Filsuf ketika bicara “Tahafut at tahafutu falasifah”.

Dengan pemahaman demikian,maka berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf (termasuk juga Ilmuwan) sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran, kebijaksanaan.

Bidang2 Filsafat yg nanti akan terkait dengan pendidikan dg intensitas yg variatif perlu diketahui paling tidak secara umum. Cakupan bidang filsafat secara umum dikelompokkan ke dalam tiga bidang/cabang utama yaitu 1) METAFISIKA, 2) EPISTEMOLOGI, 3) AKSIOLOGI. 1). METAFISIKA (META = dibalik, dibelakang, FISIKA = yg berwujud, fisik) merupakan bidang/cabang Filsafat yg memperbincangkan, mengkaji tentang hakekat realitas, jika yg nyata itu ttg alam disebut kosmologi, jika yg nyata itu ttg Tuhan dusebut Teologi,  jika yg nyata itu ttg manusia disebut Antropologi, dan jika yg nyata itu ttg hakekat “ada” atau apa makna bahwa sesuatu itu “ada”, disebut Ontologi. 2) EPISTEMOLOGI (EPISTEME = Tahu, Pengetahuan, LOGI = ILMU, NALAR) mengkaji ttg hakekat, sember, dan keabsahan pengetahuan, serta makna suatu kebenaran berdasar pengetahuan. 3) AKSIOLOGI (AXIOS = Nilai, logi = ilmu, nalar) mengkaji tentang nilai (etika, estetika), ini terkait persoalan ttg apa itu nilai, apa itu baik, apa itu indah?. Dunia pendidikan tentu tak bisa terlepas dari perkembangan pemikiran Filosofis tsb, meski dg intensitas berbeda. Pemikiran akan asal usul semesta dan hakekat semesta akan berefek pada pemikiran akan Tuhan, dan pemikiran ini akan berefek pada hakekat manusia serta ttg sesuatu yg ada (ontologi). Dalam bidang pendidikan bidang metafisika yg intens terkait dg pemikiran tentang hakekat manusia (antropologi) serta hakekat kenyataan, ini menjadi fokus dg intensitas tinggi karena dari sinilah hakekat pendidikan dikembangkan, baik tujuan maupun isinya. Kalau kosmologinya berpandangan bahwa alam jadi dg sendirinya, maka teologinya pasti tak mengakui adanya Tuhan, dan ini akan berefek pada tujuan pendidikan gak mungkin ada Imtak, dan isinya gak mungkin ada pendidikan agama atau akhlak yg baik. Jadi meski tak disadari benar, secara umum faktor Metafisika akan berkaitan dg pendidikan, karena pendidikan suatu masyarakat merupakan cerminan dari pemikiran yg berkembang, dipegang teguh dan mengakar di masyarakat itu sendiri, kondisi itulah yg mendorong lembaga pendidikan tetap bertahan, berkembang dan dikembangkan karena dipandang sesuai bahkan memperkuat keyakinan, sekaligus harapan masyarakat.

Jika pandangan Metafisika Kosmologi, dan Teologi seperti diatas, itu akan berefek pd pandangan manusia hanya sebagai benda fisikal, dan ontologinya akan berpandangan bahwa yang nyata itu adalah Materi, diluar materi itu tidak ada, tidak nyata. Pandangan seperti itu akan berefek juga pada pemikiran Epistemologinya. EPISTEMOLOGI sebagai cabang Filsafat yg mengkaji ttg Ilmu/pengetahuan, tentu akan mengacu pd pandangan metafisiknya, jika alam tak ada penciptanya, dan yg nyata adalah materi, maka sumber pengetahuan/ilmu hanya dari apa yg materi juga, yg bisa dibuktikan, yg dutangkap panca indra, diluar itu tidak ada dan atau tak dipandang sebagai ilmu, misalnya pengetahuan dari wahyu Tuhan tentu dipadang tak relevan dg ilmu, implikasinya bagi pendidikan adalah bahwa isi materi/kurikulum yg di berikan dlm proses pendidikan hanyalah ilmu/pengetahuan empiris, yang kebenarannya harus bisa dibuktikan secara empiris (observasi, eksperimen). Itu berarti bahwa pengetahuan ttg Agama yg melalui wahyu Tuhan tidak perlu dan tidak penting diberikan, karena tak bisa dibuktikan, dan kalau ada yg percaya maka itu hanyalah bersifat kecenderungan pribadi saja, dan tidak perlu masuk dlm proses pendidikan. Hal ini juga akan berefek pada pandangan pemikiran Axiologis, terkait nilai nilai. Kalau Tuhan tak Ada dan yang nyata itu Materi, maka etika baik buruk tidak dutentukan Tuhan, tapi mengacu pada rasio kemanfaatan fisikal/duniawi, karena bagi mereka akhir kehidupan ya di Dunia, kalau mati ya kembali lagi jadi materi di bumi, pertanggungjawaban sesudah kematian itu tak ada karna tak bisa dibuktikan, demikian juga nilai seni, yg penting indah secara rasional, tak perlu nengacu pilihannya pada ajaran Wahyu Tuhan. Apa yg dikemukakan terdahulu dg sedikit contoh merupakan bagian dari upaya pemahaman lebih cermat dan agak mendalam, bahwa sebenarnya di balik apa yg kita lakukan dlm pendidikan terdapat pandangan, pemikiran filosofis yg mendasarinya, terlepas kita menyadarinya atau tidak, semua itu akan memoles berbagai kebijakan ttg pendidikan yg sering tak dikritisi, dipertanyakan lagi, padahal kelebihan manusia itu yg utama adalah berfikir reflektif atas berbagai hal yg dilakukan khususnya dlm bidang pendidikan. Manusia bukan hanya bergerak, karna klw hanya ini gak beda dengan “Embe”, tapi bergerak dg berfikir dan mempertanyakan kenapa, dan untuk apa bergerak, sampai faham dasar dan arah geraknya, PENDIDIK BUKAN MOBIL YG DI-SOPIRI ORANG LAIN MENUJU TUJUANNYA, PENDIDIK ADALAH SOPIR BAGI MOBILNYA SENDIRI UNTUK MEMBAWA PESERTA DIDIK PADA TUJUAN YG BAIK DAN MENERIMA KEBAIKAN SAAT MENUMPANGINYA. Untuk itulah kita sasieureun sabeunyeureun  ngaderes Filsafat Pendidikan, bukan tuk jadi Filosuf, atau Akhli Filsafat tapi untuk tetap memikirkan apa yg kita lakukan, untuk makin memberi makna bagi hidup dan kehidupan serta memperkaya makna pada PENG-LAMA-AN HIDUP, MENJADI PENG-ALAM-AN HIDUP YANG MENGHIDUPKAN KEHIDUPAN.

Komentar Dinonaktifkan pada Filsafat Pendidikan (1)

Jalan Pendidikan (3)

Pendidikan merupakan proses pewarisan nilai2 budaya dan pengembangan potensi manusia secara terkendali, terkontrol dlm melihat efek perubahannya. Pendidikan merupakan upaya pembudayann sekaligus pemberdayaan, dia merjadi bentuk belajar khusus yg melibatkan kesadaran pihak2 terkait dlm melihat pencapaian serta perubahan yg terjadi dengan kriteria yg telah ditetapkan atau diharapkan dalam konteks kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan merupakan sub kategori dari belajar, sementara belajar itu sendiri merupakan proses yg menghasilkan kemampuan menunjukkan tingkah laku manusiawi yg baru, sebagai akibat dari suatu perubahan dari sebelumnya, dimana perubahan tersebut bukan karena faktor2  kelelahan fisikal atau degradasi mental. Pendidikan  merupakan upaya sengaja yg dilakukan oleh seseorang dan disertai oleh orang lain untuk mengontrol, memandu, mengarahkan, dan mengelola situasi belajar agar dapat mencapai hasil belajar yg diinginkan (John A Laska, Schooling and Education).. dlm konteks tersebut, maka sekolah dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan, dan pendidikan merupakan suatu bentuk dari belajar…

Pendidikan merupakan belajar terkontrol (pembelajaran) yg mengacu pada belajar terkontrol dalam hal pemikiran, pemahaman secara reflektif tentang sesuatu, sementara jika belajar sesuatu dg merespons yg tidak reflektif atas stimulan tertentu disebut pelatihan, jadi pelatihan dapat dipandang sebagai belajar terkontrol merespon yg tidak reflektif. Pendidikan dan pelatihan merupakan dua hal yg bisa terjadi dalam lembaga pendidikan seperti sekolah (formal), dlm msyarakat (non formal), dan juga dalam keluarga (informal). 

Belajar merupakan perubahan relatif permanen yg terjadi dalam diri seseorang   akibat dari perubahan pengalaman dalam hidupnya, belajar bisa terjadi secara mandiri, dan sepanjang hidup manusia, belajar akan selalu terjadi pada siapapun dan kapanpun seiring berjalannya waktu yg mengakumulasi variasi pengalaman hidup, dari sini life long learning, atau belajar sepanjang hayat sebenarnya merupakan deskripsi fakta sosial  masyarakat, dan bukan sesuatu yang normatif. Pendidikan adalah belajar terkontrol, terbimbing, terarah pada suatu tujuan, pendidikan merupakan sub kategori belajar dan pelatihan merupakan sub kategori pendidikan, dan merupakan gradasi kedua dari belajar. Pendidikan khas manusia, sedang pelatihan bisa manudua dan bisa juga manusia, baik pendidikan maupun pelatihan dapat terjadi disekolah dan juga ditempat lain (di keluarga, di masyarskat), karena itu sekolah  hanyalah jalur kelembagaan dari belajar terkontrol dan atau berlatih terpandu, atau pendidikan, pelatihan melalui upaya membuat, mengontrol, peserta didik belajar, berlatih dlm mencapai tujuan tertentu , dimana ketercapaian tujuannya merupakan konsern dari organisasi sekolah, (yg dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan).

Seorang Guru Masuk kelas, kemudian menyampaikan, menjelaskan materi yg menjadi bahasannya, guru tersebut tak mempedulikan apa yg dilakukan siswa, ada yg tidak perhatian, ada yg nundutan dibiarkan saja, dia terus bercerita, menjelaskan sampai selesai materi bahasannya, bagi guru tsb yang dilakukannya menyelesaikan bahan materi bahasan sesuai yg direncanakannya dlm rpp. Jika demikian yg dilakukan oleh guru, maka dia hanya mengajar, dalam arti menyampaikan materi bahasan saja. Kondisi seperti ini tentu bisa diganti oleh perangkat teknologi, srperti e learning dsb, dan jika itu terjadi maka peran guru amat sederhana dan gampang dilakukan dan diganti dg cara teknologi informasi dan komunikasi yg berkembang pesat dewasa ini, atau siapapun. Jika proses yg terjadi di kelas terdapat perhatian dari guru akan sikap dan prilaku dlm mengikuti, menyimak penjelasan materi bahasan serta mengingatkan pada siswa yg tidak memperhatikan, yg bertindak main main dalam mengikuti penjelasan materi, serta memantau ketercapaian tujuannya, maka itu berarti guru mendidik, menjadi pendidik, karena dg begitu guru membelajarkan siswa, jadi pembelajaran lah yg terlaksana dlm interaksi di kelas. Dg begitu pendidikan terjadi dimana belajar siswa terkontrol, terarah, dan terbimbing dg pencapaian tujuan belajar yg terpantau. Jadi dlm konteks kelas, apakah seorang guru itu pengajar atau pendidik terletak pada perhatian terhadap bagaimana siswa belajar di dalam kelas, jika hanya nyampaikan materi, itu pengajar tapi klau penyampaian materi dibarengi memandu, membimbing dan mengontrol aktivitas siswa dalam belajar (membelajarkan suswa), maka guru itu adalah pendidik. Sebagai Pendidik, guru tak kan pernah tergantikan secanggih apapun teknologi atau oleh orang sembarang yg pandai bicara, karena interaksi dalam pendidikan bukan hanya menyampaikan ilmu, namun memandu sikap, prilaku dlm belajar (tentu juga dlm konteks sekolah), yg pasti berintikan penanaman, penguatan nilai2, sosial, budaya, agama, dengan pemahaman akan karakteristik siswa, dan ini perlu ilmu mendidik, yg tak mungkin semua irang tahu, untuk itu guru jika ingin jadi profesi yg kuat (hard profession) sebagai pendidik perlu memahami ilmu mendidik (pedagogik) dan ilmu yg diajarkan (profesional), dan itu hanya bisa terlaksana efektif bila kemampuan personal dan sosial mampu membingkainya dalam suatu wujud pendidik dlm aktivitas pendidikan.

Belajar adalah genus, pendidikan dan latihan adalah species dari belajar, belajar itu netral nilai karena tak terkontrol, juga cenderung tak bertujuan. Setiap perubahan akibat akumulasi pengalaman dalam perjalanan hidup merupakan proses dan kejadian belajar baik disadari ataupun tidak, selama perubahan tersebut bukan karena faktor perubahan alamiah akibat berjalannya waktu. Sementara itu pendidikan dan pelatihan terkait dg nilai tertentu, pendidikan bertujuan dlm esensinya (tujuan ideal normatif), sedang pelatihan bertujuan dalam penerapan dan atau pemanfaatannya (tujuan praktis realistis). Dalam konteks tersebut maka kajian filsafat terfokus pada pendidikan bukan pada belajar, karena dasar2 dari pelaksanaan pendidikan memerlukan fondasi yg dapat menjawab kenapa pendidikan dilakukan seperti ini, seperti itu?, yg tentu saja akan memerlukan alasan makna, nilai yg menjadi panduan dalam masyarakat. Mengapa pendidikan di sini begini, dan disitu begitu?, mengapa suatu masyarakat menentukan isi pendidikannya pd generasi penerusnya seperti ini?, supaya jadi begini, dan masyarakat lain menentukan seperti itu supaya jadi begitu?. Ini semua tentu saja tergantung pada pemberian makna dan nilai bagi hidup dan kehidupan, dan itu tergantung pd cara masyarakat memberi makna pada hidup berdasarkan interaksinya dg lingkungan baik fisik maupun sosial, dari sini manusia memberi makna pada apa yg terjadi dimasa lalu, memberi nilai pada apa yg dilakukan sekarang, serta meletakkan harapan pada apa yg akan terjadi dimasa depan, manusia menjadikan masa lalu sebagai pelajaran, masa kini sebagai pendidikan, dan masa depan sebagai keinginan, harapan, perencanaan. Dari sini filsafat pendidikan merupakan perspektif dalam memikirkan secara radikal akan makna dan nilai dlm pendidikan bagi manusua, bagi masarakat, serta bagi bangsa dan negara. Ketika kecenderungan pendidikan makin mekanistik, pragmatis, maka refleksi akan makna serta alasan pendidikan dilakukan menjadi relevan, untuk terus memasukan spirit dlm proses pendidikan yg makin kehilangan ruh dan nilai makna di dalamnya. Guru lebih sibuk pada apa yg diajarkan dan bagaimana menyelesaikan materi yg diajarkan tersebut, namun jarang atau sudah terlupakan untuk bertanya mengapa sy mengajar ini, untuk apa mengajar ini, inilah point penting untuk merevitalisasi pendidikan agar jalan yg ditempuh dari mengajar ke mendidik terus berkembang dinamis, 

Komentar Dinonaktifkan pada Jalan Pendidikan (3)

Jalan Pendidikan (2)

Dibanding makhluk hidup yg lain, manusia adalah makhluk yg paling tidak siap hidup langsung di dunia ini. Manusia perlu bantuan, bimbingan, arahan dan perlindungan tuk dapat  hidup, tanpa itu, hanya kepunahan yg menanti. Bayi yg baru lahir kedunia akan memiliki probabiliras nol jika dibiarkan hidup sendiri.  Keterlibatan manusia lain jadi kunci kesinambungan hidup manusia, baik aspek fisik jasmani, maupun aspek sosial. Inilah esensi historis  lahir dan berkembangnya konsep Pendidikan.  Manusia dusebut “homo educandum”, makhluk yg bisa dididik, bisa mendidik, dan lalu mampu mengorganisasikan pendidikan.

Apapun namanya, masyarakat perlu cara mempertahankan diri tuk melanjutkan hidup dan kehidupannya. Anugrah akal, kemampuan berfikir jadi modal dasar membangun pola nilai, sikap, serta prilaku dengan berbagai variasi kompetensinya yang tumbuh, berkembang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial, yang menentukan kelangsungan hidup dan kehidupannya. Keberhasilan suatu kelompok mayarakat mempertahankan dan mengembangkan diri menjadi khazanah pengetahuan yang dimiliki secara sosial.

Pergiliran sejarah mendorong tumbuhnya keinginan untuk menjadikan semua khazanah pengetahuan dapat dimiliki oleh penerus mereka, maka mulailah pewarisan nilai, sikap, prilaku dan kompetensi hidup dan kehidupan yang dimiliki terjadi dalam suatu suasana dan atau kejadian pendidikan/pewarisan yang berjalan alami dalam lembaga keluarga sebagai bagian dari kohesivitas kehidupan sosial masyarakat, sehingga ketika generasi tua meninggal, generasi penerus telah siap dengan pola nilai, sikap, prilaku dan kompetensi yang relatif sama dengan pendahulunya, untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya.  

Pewarisan nilai2 hidup dan kehidupan pada awalnya cukup sederhana dan alami,  orang tua  langsung melakukannya pada berbagai kejadian, pengalaman dlm perjalanan hidup dan kehidupan sehari-hari, karena apa yang terjadi dan dialami oleh orang tua, itulah yang akan dialami oleh anak-anak seiring perkembangan waktu, namun ini bisa efektif dlm bentuk masyarakat post-Figurative yang menurut Margareth Mead (dalam Astrid Susanto, 1986), merupakan masyarakat tradisional dimana generasi yang lebih tua sudah mengalami apa yang baru akan dialami oleh generasi muda kedepan. Dalam   masyarakat tradisional golongan Tua memandang bahwa golongan muda akan mengalami perkembangan dalam hidupnya sesuai/sama dg yang telah dialami oleh golongan tua, sehingga nilai-nilai, kecakapan dan ketrampilan yang harus dimiliki relatif sama, dan generasi tua merasa berkewajiban mentransmisikannya kepada generasi muda (transmisi vertikal dari atas/generasi tua ke bawah/generasi muda).

Seiring dengan perkembangan masyarakat melalui berbagai hubungan antar kelompok masyarakat, kontak budaya, tumbuh dan berkembang berbagai nilai, prilaku serta kompetensi makin variatif yg terserap pada masing2 kelompok masyarakat, sehingga golongan tua dan muda sama sama menghadapi situasi baru,  maka masyarakat kemudian berubah menjadi bersifat co-Figuratif, dimana baik golongan tua maupun golongan muda (anak-anak) sama-sama belum mempunyai pengalaman, sehingga  mengalami kesulitan untuk mentransmisikan  nilai-nilai, kecakapan serta ketrampilan yang perlu disampaikan pada golongan muda yg bersifat vertikal menjadi horizontal saling belajar. Dalam kondisi ini ketegangan antara golongan tua dan golongan muda merupakan ciri dari masyarakat dan hanya bisa diatasi dengan upaya melakukan adaptasi dari golongan tua agar bisa kompatibel dengan perkembangan yang ada dan yang mungkin ada, inilah masyarakat pre-Figuratif, yang hanya mungkin bisa diwujudkan dengan pendidikan dan komunikasi yang efektif. Dengan demikian pendidikan merupakan unsur penting dalam masyarakat apapun bentuk masyarakatnya.

Setiap masyarakat, sesederhana apapun, berusaha untuk mendidik anggotanya khususnya generasi muda menurut cita-cita, harapan yang dimiliki masyarakatnya, sehingga perbedaan suasana dan kejadian pendidikan jelas akan nampak. Ini berarti akan terdapat perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya karena setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai, pola sikap dan prilaku yang berlainan, sehingga tidaklah sederhana bila suatu saat upaya untuk menyamakan cara mendidik lintas budaya menjadi harapan dan keinginan politik yang mengagregasi kepentingan, harapan dan cita-cita masyarakat yang bervariasi, meskipun esensinya pada dasarnya relatif sama dalam konteks mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakatnya masing masing. Masyarakat memang terus berubah, interaksi antar kelompok masyarakat, kehadiran berbagai nilai-nilai baru seperti agama serta proses asimilasinya jelas menjadi faktor yang menjadikan dinamika sosial budaya masyarakat terus terjadi dengan variasi reaksinya masing-masing, yang jelas semua itu akan mempengaruhi pada berbagai nilai-nilai sosial budaya masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya.

Kehadiran agama-agama serta berkembangnya kebudayaan yang kuat telah membangun dan mengokohkan nilai-nilai kehidupan tertentu dalam hubungan sosial kemasyarakatan, dan hal ini juga mempengaruhi arah dan tujuan pendidikan sebagai instrumen mewariskan nilai-nilai bagi generasi penerus. Generasi tua memandang bahwa generasi muda akan mengalami tahapan kehidupan yang persis atau nyaris sama dengan apa yang dialami generasi tua, sehingga mempersiapkan generasi muda dengan nilai, sikap dan prilaku yang sudah berlaku menjadi suatu keharusan dalam mempertahankan keberlanjutan hidup dan kehidupan. Meskipun terdapat perubahan pola interaksi akibat adanya inovasi praktis tertentu dalam kehidupan masyarakat, namun nilai-nilai dasar hidup dan kehidupan tetap dipandang sebagai bagian yang akan tetap berlaku dan penting dimanapun dan kapanpun hidup itu terjadi.

Dengan peradaban dan kebudayaannya yang cukup tinggi, masyarakat Mesir kuno juga telah menjadikan pendidikan sebagai hal penting dalam mencapai tujuan susila keagamaan agar manusia menjadi makhluk yang berbakti pada dewa-dewa, sehingga penyelenggaranya adalah para agamawan (pendeta). Dalam masyarakat India purba dengan agama Hindunya juga telah melaksanakan pendidikan dimana tujuan pendidikannya adalah menanamkan kesabaran, penyerahan diri, dan kepatuhan; dalam masyarakat china klasik, pendidikannya diselenggarakan oleh negara dengan tujuan mendidik manusia menjadi kepala keluarga yang baik dan setia, ilmuwan dan pegawai pemerintah yang jujur, rajin serta rela berbakti (I Djumhur, 1976); bangsa Sparta Kuno, tujuan pendidikannya adalah membentuk manusia yang penuh keberanian, mampu menghadapi berbagai tantangan, hormat dan patuh terhadap pimpinan, berjiwa patriot dan loyal terhadap negara; bangsa Athena punya tujuan pendidikan membentuk manusia paripurna yang mempunyai kemampuan fisik, keutuhan moral, kemampuan intelektual dan kepekaan terhadap aspek sosial; pada awal kebudayaan Romawi tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang tangguh mental (constantia), berbudi luhur, patuh terhadap tuhan, mampu menguasai diri (modestas), bermartabat (gravitas), bijaksana, dan adil (Soenarya, 2000). Kehadiran agama islam juga telah mempengaruhi pada bidang pendidikan, dimana tujuan utamanya adalah mendidik agar manusia menjadi insan kamil yang dapat berperan sebagai khalifah dimuka bumi, semua itu didasarkan pada nilai-nilai yang dibawakan oleh kitab suci al quran serta tarih nabi yang memberikan contoh bagaimana hidup dan mengisi kehidupan sesuai dengan kehendak kitab suci, sementara itu kelembagaannya sangat fleksibel baik dilakukan di mesjid maupun dirumah sebagaimana kasus Darul Arqam yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran di rumah Al arqam. Yang jelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai agama pada masyarakat, sehingga dapat terwujud masyarakat yang sholeh dan berakhlaqul karimah.

Orientasi pendidiKan pada aspek emosional dan moral dalam konteks sosial kemasyarakatan (nilai sikap dan prilaku hidup) merupakan nilai dasar yang menjadi tujuan utama pendidikan,  dan masyakat menjadi pengontrol keterwujudannya dalam keseharian, dimana keberagamaan  seseorang dan atau kepatuhan pada nilai-nilai adat, tradisi budaya merupakan dasar bagi terbentuknya atau terbangunnya manusia  yang tetap menjaga nilai-nilai etika dalam kehidupan masyarakat serta  mampu menerapkannya dalam gerak perkembangan hidup dan kehidupan masyarakat sehingga keberlangsungan serta kesinambungan tradisi dan budaya msyarakat  baik berdasarkan agama ataupun adat, tradisi lainnya dapat terus terjaga. Oleh karena itu dlm tradisi bermasyarakat, pendidikan lebih menjadi alat budaya tuk melanggengkan tatanan hidup bermasyarakat, kesinambungan menjadi filosofi dasarnya. Itulah sebenarnya pemaknaan pendidikan dari sudut pandang masyarakat (makna sosial pendidikan). Narasi narasi tentang masyarakat dan kehidupannya selalu memandang pewarisan nilai, sikap, prilaku sebagai hal paling penting guna menjaga kesinambungan dan keseimbangan sosial dlm kehidupan masyarakat. Nilai nilai komunitas baik berdasar agama ataupun bukan menjadi faktor terkuat yg mengendalikan dan mengatur bagaimana generasi penerus mesti berjalan dlm tatanan yg identik dg yg dilakukan generasi tua, dan harus terkontrol sejak dini. Semua ini pada dasarnya menunjukan karakter masyarakat post figuratif, yg statis tak berubah (lambat berubah).

Masyarakat yg demikian dlm klasifikasi F. TONNIES, termasuk dlm “Gemeinschaaf”, masyarakat “Paguyuban”, dimana kebutuhan masyarakat menjadi kebutuhan individu anggota masyarakat sendiri, sikap, nilai dan prilaku serta kompetensi hidup individu selalu guyub, atau homogen dg individu lainnya, kekuatan masyarakat menjadi bagian yg membentuk bahkan mencerak anggota masyarakat untuk sama (paling tidak dalam nilai dasar, dan prilaku hidup utama sbgai prasyarat bagi kelanjutan hidup masyarakat). Misalnya, pada masa berburu, semua harus bisa berburu agar dpt melanjutkan hidup). Seorang pria yg mau menikahi seorang wanita, oleh orang tua wanita diberi tambang dan tombak dan disuruh pergi ke hutan dlm jangka waktu tertentu, jika setelah waktu tsb pulang dari hutan tanpa membawa hasil buruan, maka orang tua wanita tak akan menikahkan anaknya, tp jika bawa barang hasil buruan, pria itu akan dikawinkan karena dia telah dipandang siap hidupi keluarga, dan itu berlaku guyub bagi semua pria, sehingga setiap ortu akan mewariskan kompetensi berburu tsb. Semua itu terjadi dalam alur perubahan linier dan pendidikan dimonopoli oleh konsensus mastarakat tanpa memberikan kebebasan anggotanya mengembangkan diri, setiap penyimpangan pasti dihukum secara sosial, bahkan sampai masa menjelang masehi, socrates pun mengalaminya. Dalam kondisi seperti ini pendidikan identik dengan pembudayaan, pewarisan budaya, nilai, sikap dan prilaku homogin sesuai dengan mastarakatnya, pendidikan jadi alat kontruksi sosial yg homogin, sehingga pendidikan tak dapat menjadi agen perubahan bagi masyarakat, melainkan hanya sebagai konservasi atau pelestarian nilai nilai budaya yg diperoleh generasi tua daru para pendahulunya.

Dalam perkembangan sejarah, masyarakat satu dg lainnya mulai berinteraksi, yg makin lama makin intens seiring ditemukannya alat, hewan tranportasi yg mempercepat pertukaran barang melalui barter sekaligus juga budaya, nilai serta kompetensi, sehingga dlm masyarakat berkembang variasi kompetensi yg berbeda satu individu dg individu lainnya dlm suatu masyarakat. Dalam kondisi ini, pewarisan nilai, terutama kompetensi menjadi sulit distandarkan oleh masyarakat, maka lahirlah pewarisan nilai secara indivudual, dimana potensi individu anggota masyarakat dikembangkan sesuai potensi dan kapasitas masing masing. Dg begitu lahirlah pemahaman bahwa pendidikan juga harus melihat aspek individu, dimana perbedaan individu dlm potensi harus mendapat tempat untuk dikembangkan. Penekanan pada pendidikan dari sudut pandang individu mulai mendapat tempat, dan makin lama makin berkembang seiring bertambah dan berkembangnya variasi kompetensi hidup yg dibutuhkan masyarakat. Dari perkembangan sejarah umat manusia secara ringkas dapat dilihat bahwa pendidikan bisa dilihat dari perspektif masyarskat dan perspektiff individu, hal ini cenderung tarik menarik meskipun upaya memadukan juga terlihat seperti di indonesia, antara penanaman nilai dg basis masyarakat dan pengembangan potensi dari basis individu, antara nilai yg mutlak harus diwariskan dg kompetensi yg terus berkembang, dari sini juga berkembang perdebatan ttg belajar, pendidikan dan kelembagaannya seperti persekolahan, oleh karena itu dlm perspektif historis tsb pemahaman pendidikan dpt memberi ruang pada perkembangan filsafat pendidikan. Dari sinilah kita akan bicara pemaknaan pendidikan dlm konteks sosial yg terus berkembang, berubah cepat, namun apakah semuanya harus berubah juga…that is the point we are talking about.

Pengenalan selintas ttg gambaran evolusi, perkembangan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya memahami suatu makna konsep atau istilah pendidikan dan konsep terkait dengannya, serta filsafat dasar tentang pendidikan, yg secara fundamental tidak terpisahkan dari  perspektif perkembangan sosial masyarakat. Suatu istilah, konsep akan diberi makna yg variatif sesuai sudut pandangnya, namun karena makna sesuatu sebenarnya merupakan konstruksi sosial, maka tahapan perkembangan masyarakat dapat menjadi dasar utama dalam memaknai suatu istilah atau suatu konsep. Dlm kehidupan sehari hari sering terjadi apa yg disebut “argumentum ad populum”,  suatu kesalahan pemaknaan istilah yg dianggap umum, sehingga dipandang benar sedemikian adanya, dan hal ini juga sering terjadi dalam dunia pendidikan. Misalnya: 1). “saya akan menikah jika telah menyelesaikan pendidikan saya”; 2). “Program wajib belajar sembilan tahun di daerah cukup menggembirakan”. Perhatikan kata “pendidikan” dan kata “belajar” dalam dua pernyataan tsb menggambarkan sesuatu yg merujuk pada hal yg sama yakni “sekolah”,, karna maksud pendidikan saya itu adalah sekolah saya, dan maksud wajib bajar 9 tahun itu adalah wajib sekolah 9 tahun. Penggunaan istilah yg keliru dan terus menerus tentu akan menjadikan kekaburan, atau pendangkalan istilah pendidikan serta istilah belajar. Pertanyaannya adalah : apakah pendidikan bisa disamakan dengan sekolah?, apakah belajar dapat disamakan dengan sekolah?. Tentu jawabannya bisa berbeda ada yg menjawab tidak soal yg penting orang faham arah maksud kata kata tsb, namun bagi yg sedikit belajar logika, ini akan membuat pemahaman jadi kacau karena orang semena mena memaknai kata, istilah, konsep dan bisa menimbulkan debat kontroversial yg tidak perlu. Misal: jika sekolah dipandang sama dg pendidikan bagaimana jika orang mengataka, “sekolah sekolah  di daerah kurang bermutu”, apakah itu berarti pendidikan di daerah kurang bermutu, padahal sekolah hanya salah satu jalur pendidikan yaitu pendidikan formal. Jika sekolah difahami sama dengan belajar maka mereka yg sudah lulus smp, tak wajib lagi belajar, belajar jadi sunnah, padahal dalam nilai masyrakat belajar itu wajib sepanjang hayat, dan akan tidak logis jika orang mengatakan wajib sekolah sepanjang hayat…nah dari situ pelurusan arah makna istilah2 tersebut penting, bukan meluruskan yg bengkok, meluruskan arah yang dipandang sudah lurus oleh umum namun arahnya tertuju pada sesuatu yg tidak logis…

Komentar Dinonaktifkan pada Jalan Pendidikan (2)

Jalan Pendidikan (1)

Peradaban manusia berkembang seiring dg perkembangan pemikiran manusia dlm menghadapi berbagai tantangan hidup. Manusia merupakan makhluk Tuhan yg paling tidak siap hidup langsung di alam semesta ini, namun dg akal dan kemampuan berfikir manusia lebih mampu menaklukkan tantangan hidup yg dihadapinya. Mulai dari berfikir trial and error, manusia menjalani hidupnya, dan ketika berhasil jadilah itu sebagai khazanah pengetahuan dirinya, kelompoknya, dan masyarakat yg kemudian terwariskan atau diwariskan turun temurun dan berkembang, bertambah dg hasil pemikiran lainnya dlm masyarakat. Secara Teologis, hanya nabi Adam yg langsung diajari oleh Tuhan untuk hidup di dunia dg diperkenalkan konsep2 (asma’a kullaha) tanpa melalui pewarisan apapun pengetahuan hidup dari generasi sebelumnya, disamping isarat2 alam yg dijadikan pelajaran oleh keturunannya dikemudian hari serta bimbingan Tuhan pd manusia melalui para nabi yg esensinya tuk mengatur hidup secara rohaniah, jiwa yg baik demi tegaknya harmoni kehidupan sosial masyarakat. Sementara untuk kehidupan fisik, Tuhan telah mengaturnya dlm hukum2 alam (sunnatullah fil alam) yg terbuka dan berlaku pada siapapun, namun penemuan terhadapnya oleh manusia tak serta merta tapi melalui penggunaan akal dlm mencermatinya, dan itu ternyata perlu waktu ribuan  tahun, dari mulai dutemukannya alat bajak dan roda (trial and error) sampai ada mobil (metode ilmiah) memakan waktu hampir 3000 tahun, padahal hukum alamnya tentang gerak dan putaran telah ada sejak dunia ini ada. Demikian juga dlm masalah keyakinan akan Tuhan rentang waktu antara Satu nabi dg nabi lain sering ada improvisasi penggambaran Tuhan dlm berbagai bentuk patung, berhala yg ingin memfisikalisasi apa yg dipercayai sebagai Tuhan, Dewa, dan istilah lainnya. Ketika kehidupan makin dirasakan aman mulailah manusia berfikir kedepan sebagai harapan dengan menggunakan nilai2 yg sedang dijalani serta mengambil makna dari pengalaman masa lalu, disinilah upaya menyiapkan generasi penerus  jadi perhatian, dan berkembanglah pemikiran bagaimana cara yg tepat untuk itu, nah pemikiran pendidikan mulai tumbuh dan terus makin berkembang seiring interaksi yg berkembang antar berbagai kelompok, suku, dan  masyarakat.

Terdapat rentang panjang dlm sejarah manusia yg didalamnya terdapat bolong2 informasi sejarah kehidupan manusia, dan hanya beberapa kejadian yg dapat dicari penjelasannya dlm kitab suci, namun untuk menggambarkan kesinambungan tentu amat sulit selain hipetesa2 yg juga kecil kemungkinan terverifikasi. Apabila mengacu pd Quran disebutkan bahwa nabi2 itu banyak, namun yg dikisahkan itu hanya sebagian kecil saja, dan tak semua mengajarkan suatu ajaran yg terkodifikasi dlm kirab suci, sehingga pelacakan kondisi dan situasi yg terjadi sampai sekarang tak dapat dipastikan, dan yg pasti tentu saja apa yg diriwayatkan dlm al quran sebagai sejarah yg berisi ajaran ketuhanan dan moral yg juga mengikat bagi umat islam yg menjadikannya sebagai kitab suci dan landasan pokok keberagamaan. Suatu hal yg pokok dari apa yg diajarkan Nabi dan Rasul adalah pendidikan berupa panggilan (dakwah) pada masyarakat untuk merubah individu dan masyarakat ke arah kebaikan dan kebenaran baik dlm keyakinan, sikap dan prilaku. Tentu kitab suci yg empat bukanlah buku sejarah, juga bukan buku pendidikan, sehingga tak bisa langsung terdeteksi seadanya tapi perlu upaya hermeneutik (penapsiran), yg pasti akan banyak variasinya termasuk yg ada dlm al quran. Oleh karena itu babakan pemikiran termasuk bidang pendidikan yg cukup bisa di tracing dan terdokumen adalah masa2 pemikiran Yunani mulai sekitar 700-1000 th sebelum.masehi yg berarti sekirar 1500 tahun sebelum datangnya Rasul Muhammad saw dg kitab al quran, ini berari bahwa mereka berfikir jauh sebelum agama islam ada sehingga pemahaman akan pemikiran mereka bisa saja merefleksikan beberapa ajaran ketuhanan nabi2 sebelumnya (termasuk sebelum nabi isa as). Kebenaran itu milik umat manusia, Tuhan menaburkannya melalu para nabi/rasul,  dan tangkapan manusia merupakan gambaran akan kemampuan akal dlm berfikir sebagai anugrah tuk membekali manusia mampu menjalani hidupnya di dunia. Suatu hal yg jelas, dg kesinambungan kehidupan manusia, masyarakat sampai sekarang, telah terjadi proses pewarisan budaya, nilai, terutama cara, skill hidup dan bertahan hidup, dan itu terjadi bahkan pada masyarakat, manusia paling primitif sekalipun, bedanya pd masa itu orangtua mengajarkan, mendidik anaknya dg apa (kebiasaan, skill hidup) yg dia alami dan lakukan (dg keyakinan anaknyapun akan hidup seperti apa yg dialami orang tuanya), dlm menjalani kehidupannya (sekarang ini pendidikan cenderung melompat tuk menyiapkan generasi penerus hidup di masa depan yg bagi orang tua/pendidik pun tak begitu jelas seperti apa nanti kehidupan anak2nya/penerusnya), sehingga jika orang tua meninggal, kehidupan anaknya dapat berlanjut, dan itu secara komunitas (kumpulan individu/suku/ras) berhasil, dg bukti keberadaan kita sekarang ini. Dg latar belakang seperti itulah pendidikan sering dimaknai sebagai transmission of culture (value and skill of life).

Suatu praktek pendidikan dari masa awal sejarah kehidupan manusia di dalamnya pasti menyimpan keyakinan2 yg dibentuk oleh pengetahuan tertentu dlm wacana sosial yg berlaku saat itu, meskipun tidak bisa dg tegas dan jelas dasar pemikiran, pemikiran serta pemikirnya. Namun dari yg terjadi dlm pewarisan budaya secara individu akan menggambarkan apa yg menjadi pengerahuan umum masyarakat pd saat itu. Pada tahap awal kehidupan, tantangan alam yg harus dijalani menjadi faktor utama yg menentukan value dan skill yg harus diwariskan kepada manusia/generasi penerus (anak2 mereka). Bidang dan cara yg harus dilakukan dalam mempertahankan hidup dan melanjutkan kehidupan menjadi hal utama yg diwariskan yg dlm konteks istilah sekarang dapat disebut sebagai “faktor ekonomi”. Jika orang tua hidup dari berburu maka keakhlian berburulah yg diajarkan, diwariskan,  sesuai dg cara bertahan hidup orang tuanya, sukunya. Dari sini sebenarnya tujuan pendidikan itu semata pewarisan budaya secara langsung, dan berevolusi menjadi tujuan pendidikan masyarakat yg substansi tujuannya keberlangsungan hidup manusia hanya bisa terjadi jika menggunakan budaya yg ada serta skill yg telah dilakukan oleh generasi tua. Tentu saja mereka tidak memformulasikan dlm bentuk pemikiran pendidikan, namun mereka menjalankannya berdasarkan pengalaman mereka sendiri, perspektif masa depannya adalah keberlangsungan hidup anak2nya, generasi penerusnya.

Sampai 500 th sebelum Nabi Isa, atau sekitar 1000 th sebelum Nabi Muhammad, sejarah yg cukup terdokumentasikan menujukan kemajuan bangsa Yunani, meskipun sebelumnya budaya Mesir, budaya India, cina telah berkembang maju, namun itu lebih menunjukan ajaran2 keagamaan dan etika, sementara Yunani telah mampu mengembangkan berfikir sebagai kekuatan utama dlm kehidupan manusia dan masyarakat. Dg latar belakang mitologi yunani yg kaya, berkembanglah fikiran2 rasional yg mempertanyakan berbagai hal dari penciptaan alam sampai bagaimana cara yg baik bagi manusia berprilaku serta membangun tatanan sosial masarakat yg baik dan benar secara rasional. Kehidupan mitologi dan berbagai ajaran agama alami memposisikan Tuhan sebagai Pusat kehidupan (Teosentris), sedang masa pemikiran cenderung merubah menjadi manusia sebagai pusat (Antroposentris), dimana manusia berfikir akan ketuhanan dan etika, bukan hanya melaksanakan ajaran mitologi tanpa mempersoalkannya. Pemikiranpun terbagi pada dua orienrasi (titik berat, fokus) yakni pd  Alam dan pada manusia. Dari dua orientasi tersebut, pemikiran pendidikan lebih memungkinkan digali dari masa Socrates, meski tak seperti suatu disiplin ilmu pendidikan, namun tercakup dalam pemikiran ttg kebahagiaan hidup manusia serta keutamaannya sebagai homo sapien.

Kitika kita bicara ttg pemikiran (dlm bidang) pendidikan, sebenarnya kita sedang bicara ttg satu aspek hidup dan kehidupan yg secara naluriah selalu dipertanyakan untuk dapat dijawab guna memberi pemahaman dan pengertian sehingga hidup manusia dan masyarakat dpt berjalan dg fondasi yg ajeg. Misalnya pertanyaan “untuk apa pendidikan?”, ini merupakan rentetan ketika tujuan Hidup tlh mendapat jawaban, baik disadari maupun tidak. Semua agama merupakan penjelasan tentang makna hidup, tujuan hidup dan cara mencapainya, demikian juga motologi2 merupakan jawaban akan kemisteriusan hidup, sampai ahirnya dlm perkembangan sejarah lahir pemikiran rasional yg mencoba menjawabnya, seperti filsuf2 yunani, etika lao tze, kong hu tzu di cina, sidharta di india. Ketika masyarakat, orang tua sebagai anggotanya meyakini nilai, keyakinan akan hidup dan kehidupan (apapun dasarnta), maka masalah yg dihadapi adalah bagaina itu dilanjutkan pd penerusnya?, nah disinilah, pendidikan  dihadapi oleh mereka. Tentu pendidikan pada saat itu sederhana (tanpa teori2) dan orang tua menjalakannta secara alami sebagai penanggung jawab utama menjadikan nilai2 tuk pencapaian tujuan hidup, serta instrumen skill (pengalaman) bertahan hidup (sesuai kondisi lingkungan alam dimana mereka hidup) dapat dimiliki juga oleh anak2 nya, dan atau generasi penerus dlm agregasi masyarakat (suku, klan masing2).

Komentar Dinonaktifkan pada Jalan Pendidikan (1)

Krisis Pendidikan (7)

Wacana wacana dominan yg terus dikembangkan dan dipraktekan dalam kebijakan cenderung makin kuat dan lama kelamaan dipandan sebagai hal biasa yg demikian adanya. Misalnya dalam pendisiplinan melalui pemeriksaan/ujian yg dilaksanakan dg UKG yang menguji guru dalam kompetensi sebagai tenaga profesional. Hasil UKG oleh pemerintah/kemendikbud digunakan serta merta sebagai ukuran mutu guru, ini jelas keliru dan melanggar UU 14/2005, tapi hampir tak ada yang mempersoalkannya seolah olah demikian harusnya dan wajarnya. Dlm sudut normatif UU, kompetensi guru sebagai tenaga profesional jelas tertulus 4, namun yg diuji hanya 2 kompetensi, jadi bagaimana uji 2 kompetensi digunakan untuk menilai kompetensi guru yg mencakup 4, harusnya itu “UJI SETENGAH KOMPETENSI GURU” (USKG), dan hasilnya “SETENGAH MUTU GURU” yg lebih parah itu dipakai untuk menentukan tunjangan profesi, tak ada yg mempersoalkan, padahal itu jelas keliru baik dari sudut legal, rasional dan ilmiah, sehingga pertanyaannta basis pengelolaan sistim pendidikan ini apa?, dusini hanya kekuasaan yg memaksakan wacana dan pendidik tak berdaya terhadapnya..dlm kondisi ini adalah mimpi jika mengharapkan kreativitas guru berkembang, dan hanya guru kreatif yg bisa menghasilkan siswa kreatif…inilah anomali kekuasaan yg berkolaborasi dg pengetahuan yg keliru, (dikelirukan) ttg proses pendidikan, pembelajaran.
Dalam banyak hal, kita bisa melihat bahwa suatu kebijakan publik merupakan suatu kolaborasi antara pengetahuan dg kekuasaan yang kemudian membentuk wacana umum hingga individu yg terlibat, atau terkait kebijakan tersebut menerimanya baik sukarela maupun terpaksa, yg jelas hal itu menjadi proses pendisiplinan baik bagi individu (para pendidik) maupun institusi (lembaga, organisasi pendidikan seperti persekolahan). Memang pendisiplinan individu maupun organisasi memiliki efek timbal balik baik pada sistem organisasi maupun pada anggota organisasinya. Misalnya Akreditasi yg merupakan pendisiplinan organusasi sekolah tuk memenuhi berbagai norma dan kriteria standar yg ditentukan akan mendirong pada pendisiplinan guru oleh sekolah, sementara UN yg merupakan kontrol pendusiplinan pada individu siswa dlm belajar akan berefek pada pendisiplinan tingkat organisasi sekolah, meskipun dgg motif utama yg berbeda. Esensi semua itu pada prinsipnya merupakan bentuk intervensi kekuasaan, meraksuknya kekuasaan pada bidang pendidikan, yg dari sudut profesionalitas jelas mengacaukan profesi pendidik yg otonom, karena bila sudah kuasa yg bermain, tujuannya cenderung kebawa ke luar pendidikan. UN itu untuk menilai bagaimana hasil belajar siswa, itu intinya dan itu esensi gasil pendidikan sebagai belajar terpandu dlm sistem persekolahan. Namun un juga bisa jadi prestise (gengsi) bagi guru, kepala sekolah organisasi sekolah, dinas pendidikan, pemda kemdikbud dan salam konteks global Pemimpin pemerintahan, negara ketika secara terpaksa dikomparasikan dg negara lain, oleh karena itu sangat rasional jika kekuasaan bermain dalam hal ini, hingga jalan pinggiran kebijakan formal nukan lagi bicara mutu hasil pendidikan yg substantif namun bicara rarget, keharusan yg cenderung menekan dan bisa mendorong ketidakjujuran dlm pelaksanaannya. Ini merupakan perselingkuhan antara kekuasaan dg wacana pengetahuan ttg pendidikan yg menhadi virus ganas pada hakekat pendidikan dan persekolahan., semua harus melakukan seperti ini seperti itu untuk memuaskan hasrat kekuasaan, bukan nilai2 pendidikan.

Pendisiplinan melalui normalisasi, standarisasi terhadap institusi (organisasi sekolah) adalah akreditasi sekolah sebagai komponen sistem penjaminan mutu pendidikan. Mekanisme akreditasi yg dilakukan pemerintah merupakan sebuah wujud kuasa melalui legitimasi peran negara dlm masalah pendidikan. Semua peraturan prosedur kriteria diatur pemerintah dan diberlakukan pada semua sekolah tanpa melihat efek kapasitas lingkungan serta sdm yg dimiliki oleh sekolah. Cara ini sebenarnya merupakan bentuk kontrol dan dapat mengekang kreativitas organisasi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan serta dalam beradaptasi pada berbagai tantangan yg timbul dari lingkungan, semua harus begini sekolah manapun dan dimanapun. Dengan begitu maka akreditasi menjadi instrumen untuk klasifikasi sekolah dlm hal mutu (berbasis standar). Sehingga negara menjadi penentu yg cukup dominan dlm mengendalikan praktek pendidikan, dan sekaligus mengkategorikan sekolah2 berdasarkan kriteria yg dibuat terpusat oleh pemerintah. Kondisi ini akan mendorong kompetisi antar sekolah tuk mendapat peringkat tertentu, sehingga menggoda sekolah melakukan berbagai pengorbanan tenaga waktu sekaligus dana yg tak rasional dan bisa menyimpang. Orientasi akreditasi berbasis evaluasi diri serta lebih fokus pada dokumen, hasil, sering abai pada proses pendidikannya, sehingga bisa terjadi (atau) bahkan itu yg banyak terjadi peringkat akredirasi tak dapat dukungan proses faktual, yg penting peringkatnya, prosesnya ya…biasa, bahkan Egp. Ini logis saja terjadi karena dominasi kekuasan memasuki wilayah dalam dari organisasi yg sebenarnya menuntut proses pendidikan yg substantif bermutu, bukan sekedar peringkat akredirasi nya, karena ditengarai akreditasi mendorong rusaknya integritas sekolah dan sdm pendidik yg mempersiapkannya.

Penggunaan kekuasaan memang tak bisa dihindari, apalagi dia tersebar di berbagai tempat, serta tak selalu bermakna negatif. Namun kekuasaan yg eksesif serta pendominasian dlm wacana pengetahuan dlm suatu perspektif tunggal serta masuk dlm wilayah yg tak difahaminya (karena kemajemukan pola, lingkungan sosial budaya) dlm pendidikan, pembelajaran, jelas akan merusak atau menghalangi tumbuh kembangnya kreativitas organisasi juga para pendidik. Birokratisasi yg mendorong teknikalisasi proses pendidikan, pembelajaran, terhadap lembaga/organisasi dan individu pendidik cenderung mempersempit ruang bebas improvisasi yg mungkin sangat penting bagi perbaikan sekolah dan peningkaran kemampuan pendidik dlm pengembangan pembelajaran. Learning in and from practice of education and instruction akan tidak terpantul karena semua sudah diatur urutan dan prosedurnya semya harus tunduk terhadapnya neskipun secaea aktual relevansi subsrantifnta tak ada serra relevansu praktisnya juga tak memberi ruang (luas) untuk kreativitas.

Penilaian, pengukuran yg diseragamkan pada dasarnya merupakan efek positivisme yg memandang bahwa ilmu tanpa kecuali bersifat universal. Neoliberalisme sebagai pengembangan sekaligus penguatan liberalisme menjadikan faham pemikiran mereka sebagai hal yg harus diterima oleh semya bangsa, karena memang terbukti faham atau ideologi libwral menjadi puncak san ujung sari sustem tepat dalam mengatur kehidupan manusia secara universal, suapapun, dan dimanapun, paling tidak itu yg tergambar dari karya Fukuyama dlm “The End of History”, meskipun dapat kritik dari Derrida, namun kekuatan militer, ekonomi negara maju (penganut neoliberal) menjadikan neoliberalisme jadi wacana pengetahuan dominan, yg umum ditransliterasi ke dalam berbagai kebijakan bangsa2 dlm mengelola bangsanya dlm berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan.

Pendidikan telah menjadi bagian dari sistem global yg masuk bidang yg diliberalisasi, sehingga wacana pendidikan didominasi dg pandangan san pemikiran perlunya pendidikan bangsa ikut dlm arus global. UU No 20/2003 tentang sisdiknas dg jelas dlm konsiderannya menimbang poin c menyatakan “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”.  Semua UU, PP dan aturan di bawahnya yg lahir sesudah UU Sisdiknas ini tentu paralel dg apa yg menjadi dasarnya, dimana dari segi legal konstitusional Pendidikan nasional sedah memasuki kolam.global pendidikan dimana semua negara masuk berkompetisi didalamnya, negara maju (umumnya penganut liberalisme-neoliberalisme) didepan tentunya, dan mereka itulah yg menentukan aturan, srandar, kriteria untuk dapat mengikuti kompetisi di kolam glibal tersebut. Apa yg dikemukakan terdahulu merupakan filsafat deskriptif sskaligus preskriptif komparatif dg menerapkan model analusus arkeologi pengetahuan yg didalamnya juga dikaitkan dg kekuasaan (analisis kaitan ini disebut genealogi pengetahuan), ini paling tidak dpt memberikan gambaran awal tenrang kenapa pendidikan kuta seperti sekarang ini, tentu itu akan jadi masalah tidak bagi semua irang tapi bagi yg mempersoalkannya terkait kontinyuitas sejarah pendidikan bangsa yg diakui berorientasi dan berbasis nilai agama dan sosial budaya bangsa. Apakah ini keterputusan sejarah arau perkembangan sosial yg wajar? . Tentu ini perlu kajian dan riset lebih luas meskipun pohonnya terang benderang namun kaitan akarnya itu yg perlu didalami. Kita tak harus berfikir mendalam, namun kita harus memikirkan hal yg dangkal secara mendalam. Karena bukan masalahnya yg menentukan fikiran kita namun mempersoalkannya yg jadi langkah awal tuk kita berfikir dalam memahami berbagai gejala pendidikan sehingga kita bisa memberi makna pada realitas pendidikan yg terjadi.

Komentar Dinonaktifkan pada Krisis Pendidikan (7)

Pendidikan sebagai Pembudayaan dan Pemberdayaan.

(Makalah disampaikan dlm saresehan pelestarian budaya lokal di Kabupaten Kuningan, diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol Kab Kuningan, 22 Pebruari 2018 di Auditorium Gedung Naskah Linggarjati Kuningan)

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial dan budaya, manusia juga adalah homo educandum, makhluk yang bisa dididik, yang dengannya berkembang kemampuan untuk mendidik, dan interaksi antara mendidik dan yang dididik melahirkan konsep pendidikan dan proses pendidikan, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, dalam masyarakat, dan untuk masyarakat. Apapun namanya, masyarakat memerlukan mekanisme untuk mempertahankan diri dan melanjutkan kehidupannya. Pola nilai, sikap, serta prilaku dengan berbagai variasi kompetensinya merupakan cara yang tumbuh dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan hidup sekitarnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang keberhasilannya akan menentukan hidup dan kehidupannya. Ini bermakna bahwa manusia memerlukan budaya dalam kesadaran historisnya dan pemberdayaan dalam konteks kemampuannya, dan Ini dikuatkan oleh prinsip penyelenggaraan pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (Pasal 4 ayat 3 UU No 20/2003) 

Keberhasilan suatu kelompok mayarakat mempertahankan dan mengembangkan dirinya menjadi khazanah pengetahuan yang dimiliki secara sosial, dan ketika sunatullah berjalan maka keinginan untuk menjadikan semua khazanah pengetahuan dimiliki oleh penerus mereka, mulailah pewarisan nilai, sikap, prilaku dan kompetensi hidup dan kehidupan yang dimiliki terjadi dalam suatu suasana dan kejadian pendidikan yang berjalan alami dalam lembaga keluarga sebagai bagian dari kohesivitas kehidupan sosial masyarakat, sehingga ketika generasi tua meninggal, generasi penerus telah siap dengan pola nilai, sikap, prilaku dan kompetensi yang relatif sama dengan pendahulunya untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya. 

Kondisi-kondisi tersebut pada dasarnya merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat dimana pewarisan nilai-nilai budaya pada awal perkembangannya, menjadi muatan utama yang menjadi isi pendidikan, pembelajaran, karena hanya dengan cara inilah manusia, masyarakat dapat terus berlanjut, berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dan kehidupan, dalam interaksinya dengan alam maupun dengan manusia lain dalam kehidupan individual, sosial masyarakat lokal, regional, nasional, global. Dalam konteks ini, maka Pendidikan dipandang sebagai proses Pembudayaan dalam konteks masa lalu, dan ini tentu akan menjadi modal bagi pemberdayaan terkait dengan masa kini dan masa depan yang sarat perubahan dan sulit dipastikan.

B. Masyarakat, Kebudayaan dan Pendidikan

Masyarakat merupakan kumpulan dan atau pola interaksi manusia dalam suatu bingkai budaya yang khas (aspek keyakinan, nilai, sikap, perwujudan fisik, perwujudan prilaku, perwujudan keindahan). Budaya menjadi nilai-nilai yang disepakati serta perwujudannya terlihat dalam prilaku intelektual, emosional dan sosial, budaya menjadi ikatan komunitas dalam menjalankan peran hidup dan kehidupan dengan variasi segmen serta faktor yang membentuknya. Masyarakat tak pernah membiarkan budaya berhenti pada masanya, budaya membentuk kerangka berfikir yang diyakini sebagai sesuatu yang penting dan harus dilanjutkan oleh masyarakat penerusnya di masa datang, dan dari sinilah  pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai dan budaya secara integral menjadi bagian yang selalu terjadi dalam setiap masyarakat/komunitas. 

Pewarisan nilai-nilai, kecakapan dan ketrampilan pada awalnya merupakan hal yang cukup sederhana dimana orang tua dapat secara langsung melakukannya pada berbagai kejadian pendidikan (pengajaran, pelatihan) dalam kehidupan sehari-hari, karena apa yang terjadi dan dialami oleh orang tua, itulah yang akan dialami oleh anak-anak seiring perkembangan waktu, namun ini jelas hanya bisa efektif dalam bentuk masyarakat post-Figurative yang menurut Margareth Mead (dalam Astrid Susanto, 1986), merupakan masyarakat tradisional dimana generasi yang lebih tua sudah mengalami apa yang baru akan dialami oleh generasi muda, ini berarti bahwa dalam   masyarakat  tradisional golongan Tua memandang bahwa golongan muda akan mengalami perkembangan dalam hidupnya sesuai dengan apa yang telah dialami oleh golongan tua, sehingga nilai-nilai, kecakapan dan ketrampilan yang harus dimiliki relatif sama, dan generasi tua merasa berkewajiban mentransmisikan kepada generasi muda (transmisi vertikal dari atas/generasi tua ke bawah/generasi muda). 

Seiring dengan perkembangan masyarakat melalui berbagai hubungan antar kelompok masyarakat, maka masyarakat kemudian berubah menjadi bersifat co-Figuratif, dimana baik golongan tua maupun golongan muda (anak-anak) sama-sama belum mempunyai pengalaman, sehingga  mengalami kesulitan untuk mentransmisikan  nilai-nilai, kecakapan serta ketrampilan yang perlu disampaikan pada golongan muda. Dalam kondisi ini ketegangan antara golongan tua dan golongan muda merupakan ciri dari masyarakat dan hanya bisa diatasi dengan upaya melakukan adaptasi dari golongan tua agar bisa kompatibel dengan perkembangan yang ada dan yang mungkin ada, inilah masyarakat pre-Figuratif, yang hanya mungkin bisa diwujudkan dengan pendidikan dan komunikasi yang efektif. Dengan demikian pendidikan merupakan unsur penting dalam konteks budaya masyarakat apapun bentuk masyarakatnya dan sistem budayanya.

Setiap masyarakat, sesederhana apapun, dengan budaya yang dimilikinya berusaha untuk mendidik anggotanya khususnya generasi muda menurut cita-cita, harapan yang dimiliki masyarakatnya dan nilai-nilai budayanya, sehingga perbedaan suasana dan kejadian pendidikan jelas akan nampak. Ini berarti akan terdapat perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya karena setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai, pola sikap dan prilaku yang berlainan, sehingga tidaklah sederhana bila suatu saat upaya untuk menyamakan cara mendidik lintas budaya menjadi harapan dan keinginan politik yang mengagregasi kepentingan, harapan dan cita-cita masyarakat yang bervariasi, meskipun esensinya pada dasarnya relatif sama dalam konteks mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakatnya masing masing. Masyarakat memang terus berubah, interaksi antar kelompok masyarakat, kehadiran berbagai nilai-nilai baru seperti agama serta proses asimilasinya jelas menjadi faktor yang menjadikan dinamika sosial budaya masyarakat terus terjadi dengan variasi reaksinya masing-masing, yang jelas semua itu akan mempengaruhi pada berbagai nilai-nilai sosial budaya masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupannya. 

Kehadiran agama-agama serta berkembangnya kebudayaan yang kuat telah membangun dan mengokohkan nilai-nilai kehidupan tertentu dalam hubungan sosial kemasyarakatan, dan hal ini juga mempengaruhi arah dan tujuan pendidikan sebagai instrumen mewariskan nilai-nilai (baik bersumber dari ajaran Agama, maupun dari tradisi kehidupan sosial), budaya bagi generasi penerus. Generasi tua memandang bahwa generasi muda akan mengalami tahapan kehidupan yang persis atau nyaris sama dengan apa yang dialami generasi tua, sehingga mempersiapkan generasi muda dengan nilai, sikap dan prilaku yang sudah berlaku menjadi suatu keharusan dalam mempertahankan keberlanjutan hidup dan kehidupan. Meskipun terdapat perubahan pola interaksi akibat adanya inovasi praktis tertentu dalam kehidupan masyarakat, namun nilai-nilai dasar hidup dan kehidupan tetap dipandang sebagai bagian yang akan tetap berlaku dan penting dimanapun dan kapanpun hidup itu terjadi.

Dengan peradaban dan kebudayaannya yang cukup tinggi, masyarakat Mesir kuno juga telah menjadikan pendidikan sebagai hal penting dalam mencapai tujuan susila keagamaan agar manusia menjadi makhluk yang berbakti pada dewa-dewa, sehingga penyelenggaranya adalah para agamawan (pendeta). Dalam masyarakat India purba dengan agama Hindunya juga telah melaksanakan pendidikan dimana tujuan pendidikannya adalah menanamkan kesabaran, penyerahan diri, dan kepatuhan; dalam masyarakat china klasik, pendidikannya diselenggarakan oleh negara dengan tujuan mendidik manusia menjadi kepala keluarga yang baik dan setia, ilmuwan dan pegawai pemerintah yang jujur, rajin serta rela berbakti (I Djumhur, 1976); bangsa Sparta Kuno, tujuan pendidikannya adalah membentuk manusia yang penuh keberanian, mampu menghadapi berbagai tantangan, hormat dan patuh terhadap pimpinan, berjiwa patriot dan loyal terhadap negara; bangsa Athena punya tujuan pendidikan membentuk manusia paripurna yang mempunyai kemampuan fisik, keutuhan moral, kemampuan intelektual dan kepekaan terhadap aspek sosial; pada awal kebudayaan Romawi tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang tangguh mental (constantia), berbudi luhur, patuh terhadap tuhan, mampu menguasai diri (modestas), bermartabat (gravitas), bijaksana, dan adil (Soenarya, 2000). Kehadiran agama islam juga telah mempengaruhi pada bidang pendidikan, dimana tujuan utamanya adalah mendidik agar manusia menjadi insan kamil yang dapat berperan sebagai khalifah dimuka bumi, semua itu didasarkan pada nilai-nilai yang dibawakan oleh kitab suci al quran serta tarih nabi yang memberikan contoh bagaimana hidup dan mengisi kehidupan sesuai dengan kehendak kitab suci, sementara itu kelembagaannya sangat fleksibel baik dilakukan di mesjid maupun dirumah sebagaimana kasus Darul Arqam yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran di rumah Al arqam. Yang jelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai agama pada masyarakat, sehingga dapat terwujud masyarakat yang sholeh dan berakhlaqul karimah.

Orientasi pendidikan pada aspek emosional dan moral dalam konteks sosial kemasyarakatan (sikap dan prilaku hidup) merupakan nilai dasar yang menjadi tujuan utama pendidikan, dimana keberagamaan  seseorang (atau nilai-nilai lainnya) merupakan dasar bagi terbentuknya atau terbangunnya manusia  yang tetap menjaga nilai-nilai etika dalam kehidupan masyarakat serta  mampu menerapkannya dalam gerak perkembangan hidup dan kehidupan masyarakat sehingga keberlangsungan serta kesinambungan tradisi dan budaya msyarakat  baik berdasarkan agama ataupun yang lainnya dapat terus terjaga. namun dalam perkembangannya sekarang ini, pendidikan, khususnya persekolahan cenderung lebih berorientasi pragmatis dimana nilai tunai dari sesuatu  kondisi, proses pendidikan, cukup mendominasi dengan kuantifikasi yang menonjol serta ekonomisasi yang juga dominan dalam melihat hasil dari suatu proses pendidikan yang diperankan oleh sekolah, kekaburan pendidikan dan pengajaran, antara pendidikan dan latihan cenderung menjadi bagian yang umum dalam pemahaman masyarakat,  dengan akibat pada makin kurangnya perhatian pada penguatan norma dan nilai prilaku sosial kemasyarakatan yang pada tahap awal perkembangan pendidikan sekolah menjadi orientasi utamanya sebagai bagian penting yang diharapkan masyarakat.

Kondisi tersebut bisa dirunut pada pendidikan di masa penjajahan (bagi negara-negara yang mengalami penjajahan), dimana penjajah mencoba memberikan pendidikan melalui sekolah, meski terbatas dan diskriminatif,  untuk kepentingan penyediaan tenaga kerja murah untuk dimanfaatkan oleh penjajah tersebut, sehingga sekolah menyelenggarakan pendidikan di masyarakat untuk kepentingan di luar masyarakatnya yang berakibat kohesivitas sosial masyarakat menjadi terganggu. T.R. Batten dalam bukunya School And Community (1959) menemukan beberapa fakta terdapatnya keluhan masyarakat akan pendidikan sekolah seperti yang terjadi di Afrika  dimana masyarakat menyampaikan memorandum pada tahun 1935 bahwa sekolah telah mendorong individualisme yang tidak berketentuan yang destruktif bagi elemen-elemen kehidupan komunal, memperlemah ikatan sosial, membongkar tradisi, keakraban, dan penguasaan diri, pengaruhnya (sekolah) adalah merusak dan destruktif. 

Demikian juga laporan Furnivall (dalam Batten, 1959) yang menyebutkan bahwa moral anak-anak sekolah selalu tetap menjadi  bahan pembicaraan, dan  distrik/daerah yang mencapai prestasi/rekord terbaik dalam pendidikan (sekolah) justru mencapai pula rekord dalam kriminal. Kondisi ini jelas menunjukan dinamika interaksi antara sekolah dan masyarakat, ketika peran sekolah sebagai lembaga yang dapat menyuntikan perubahan masyarakat bertemu dengan kondisi masyarakat yang pragmatis, yang diiringi dengan melemahnya penanaman nilai budaya, dan hal seperti itu cenderung terjadi di berbagai negara terutama yang mengalami penjajahan yang penyelenggaraan pendidikan sekolahnya bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan untuk kepentingan ekonomis penjajah yang berati juga untuk kepentingan budaya asing.

Kondisi demikian, sayangnya tidak banyak berubah, bahkan cenderung dipertahankan sesudah negara-negara jajahan mengalami kemerdekaan, hal ini diperkuat dengan mitos pembangunan yang harus menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa. disamping itu perkembangan iptek yang sangat cepat telah menjadikan negara-negara berkembang mempunyai idola baru masyarakat yakni masyarakat dan negara-negara maju yang notabene penjajahnya, sehingga orientasi dan tujuan pendidikan sekolah juga cenderung mengarah pada terwujudnya masyarakat iptek yang makin mendekati masyarakat maju, kondisi ini mengakibatkan pendidikan sekolah tidak terarah pada masyarakatnya sendiri, melainkan pada masyarakat yang lain, meskipun secara tersurat tetap mengklaim sebagai mengakarkan dirinya pada budaya masyarakat setempat, namun cenderung tidak paralel dengan proses dan kontennya pendidikan di sekolah.

Memang pendidikan tidak dimaksudkan untuk membawa generasi penerus pada kehidupan masa lalu, namun juga jangan sampai dilepaskan begitu saja pada kehidupan masa depan tanpa mengikatkan diri dengan masyarakatnya. Masyarakat terus berubah dengan cepat, masa depan yang akan dijalani oleh generasi muda tidaklah terlalu jelas, sehingga kejutan masa depan menjadi bagian yang perlu diperhatikan dalam pendidikan. Masa depan akan tetap menjadi kejutan, kejutan masa depan, dimana akan ada tekanan yang mengguncangkan dan hilangnya orientasi yang dialami oleh individu-individu jika kita menghadapkan mereka dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat (Alvin Toffler, 1972). Banyak perubahan yang terjadi dalam waktu yang bersamaan akan membuat individu dan masyarakat mengalami kegamangan, karena kepastian menjadi sulit dan keterputusan menjadi bagian kehidupan, ini berarti apa yang akan dialami generasi penerus belumlah akan menjadi jelas, dan harus mempersiapkan generasi muda dengan kemampuan prima yang fleksibel, serta adalah bijak, bahkan kewajiban yang bijak bila nilai-nilai dan budaya yang berlaku di masyarakat tetap menjadi perhatian utama pendidikan sebagai dapat menjadi fondasi hidup dan kehidupan generasi penerus Masyarakat dan Bangsa.

C. Penutup

Demikian pengantar yang nampaknya perlu untuk menjadi pemahaman kita bersama dalam menentukan arah, fondasi serta basis bagi Pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan itu merupakan bagian dari suatu budaya masyarakat dalam mempertahankan dan melanjutkan hidup dan kehidupan masyarakat dan komunitasnya. Bangsa Indonesia tentu menyelenggarakan pendidikan, dengan biaya besar, untuk menjadikan generasi penerus sebagai generasi bangsa indonesia yang berbudaya dan berkepribadian Indonesia, bila analoginya kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan lokal, maka Pendidikan bagi orang sunda tentu bertujuan menjadikan orang sunda dengan kepribadian dan berbudaya sunda, karena tidaklah mungkin meminta bangsa lain mendidik bangsa kita berkepribadian dan berbudaya bangsa kita, orang sunda tak bisa minta orang diluar sunda untuk mendidik orang sunda dengan kepribadin dan berbudaya sunda, jadi kitalah yang memikul tanggung jawab baik secara nasional, maupun regional serta lokal yang dapat memberi efek kuat dalam internalisasi nilai, sikap, serta prilaku yang Logis (benar), Etis (baik), dan Estetis (Indah) yang berorientasi kesundaan sekaligus dalam bingkai keindonesiaan. Sebagai Upaya Pembudayaan, Pendidikan perlu mendasarkan pada fondasi dan nilai2 budaya yang mengikat masyarakatnya, pendidikan menjadi upaya untuk menjadikan budayanya sebagai orientasi dan fondasi nilai dalam berfikir, bersikap dan berprilaku generasi penerus, dimana pendidikan dalam semua jalur dan jenjangnya menjadi arena intensif dalam internalisasi budaya pada peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, disini diperlukan suatu GERAKAN,yaitu  GERAKAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN, sehingga perkembangan global dg berbagai nilai-nilainya dapat tetap diadopsi dan diadaptasi dengan tak menggoyahkan nilai-nilai budaya daerahnya, bahkan dalam nilai budayanya semua perubahan serta budaya global diperlakukan dg tepat….INSYA ALLAH 

D. Daftar Pustaka

Alisjahbana, Sutan Takdir (1988) Kebudayaan sebagai Perjuangan, Jakarta, PT Dian Rakyat

Capra, Fritjof. (1998), Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Budaya, YBB.

Gazalba, Sidi (1975). Antropologi Gaya Baru (Jilid 1 dan 2), Jakarta, Bulan Bintang

——-, (1980). Kebudayaan, (Jilid 1 dan Jilid 2), Jakarta, Bulan Bintang

Koentjaraningrat, (1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta

Naisbitt, John., Aburdene, (1990). Megatrend 2000, William Marrow & Co

Raliby, Osman (1962) Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta Bulan Bintang. 

Suharsaputra, Uhar . (2004).  Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar, Rumah Buku Press

——-, (2010) Administrasi Pendidikan, Bandung, Refika Aditama

——-, (2012).  Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan,  Bandung, Refika Aditama  

——-, Uhar (2013) Administrasi Pendidikan, (edisi revisi) Bandung, Refika Aditama

——-, (2013).  Menjadi Guru Berkarakter,  Bandung, Refika Aditama  

——–, (2015). Manajemen Pendidikan Perguruan Tinggi, Refika Aditama, Bandung

——-, (2016). Kepemimpinan Inovasi Pendidikan, Bandung, Refika Aditama

Sumahamijaya, Suparman. et.al (2003). Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan, Angkasa, Bandung

Supriadi, Dedi. (1996). Kreatifitas, Kebudayaan, & Perkembangan IPTEK. Bandung : Alfabeta.

Susanto, Astrid, (1984), Komunikasi Masa, Jakarta, Bina Cipta

Toffler, Alvin (1970), The Future Shock, New York, Bantam Books

——, (1980). The Third Wave, New York, Bantam Books

Komentar Dinonaktifkan pada Pendidikan sebagai Pembudayaan dan Pemberdayaan.

Krisis Pendidikan (6)

Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pendidikan tidak bebas, terlepas dari jaring kekuasaan, negara berkembang tak mampu untuk menolak berbagai perjanjian  liberalisasi ( WTO – GATS) termasuk bidang Pendidikan yang dimasukan sebagai industri jasa, yang lalu lintasnya antar negara tak bisa dihalangi (meski boleh diatur), sehingga sekolah dari Negara lain/Luar negeri bisa masuk mendidirikan sekolah di negara lain, dan ini yang untung adalah negara maju dengan kekuatan ekonomi, Politik dan SDM serta persepsi keunggulan budaya dan iptek yang masih jadi mindset pd mayoritas masyarakat di negara berkembang. Kondisi ini juga memberi peluang masyarakat negara berkembang untuk sekolah di luar negeri (negara maju, terutama pend dasar dan menengah), dan itu pasti tak akan belajar apa yang menjadi nilai budaya dan filsafat hidup bangsanya, jadi habislah pendidikan sebagai pembudayaan.  Sekolah tak berdaya dalam merespon berbagai tuntutan, persyaratan, standar2 yang dipropagandakan oleh negara maju dengan membawa bendera neoliberalisme (liberalisme, kapitalisme),    ini tentu berimplikasi pada bagaimana lembaga pendidikan juga menerapkan berbagai kuasa yang dimilikinya dalam proses pendidikan karena pada akhirnya, pendidikan melalui persekolahan juga menjadi subjek (pelaku, pelaksana) kekuasaan dalam masyarakat modern melalui hegemoni kekuasaan dalam proses produksi (transfer) pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta seluruh mekanisme produksi (transfer) pengetahuan akan dikontrol dan dikendalikan institusi pendidikan  (Martono). Adalah ironi jika menurut UU Sisdiknas 20/2003 “PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN”, namun yg terjadi adalah “KETIDAKBERDAYAAN” dalam menghadapi presure kuasa/kekuasaan, pengetahuan dan wacana Pendidikan yg dipropagandakan negara maju dlm bendera neoliberal di era global.

Terdapat lima bidang yg jadi fokus globalisasi, yaitu: tujuan pendidikan, strukrur sistem, pendidik, penilaian hasil, dan peran pemerintah (Hallak dlm Martono). Dan semua itu dlm peakteknya secara global berada di bawah kendali World Bank, OECD, WTO,  GATS,  UNESCO, dan organisasi internasional lainnya (Martono, berdasar para pakar). Ini berarti bahwa Lembaga2 tersebut menjadi penentu kebijakan yg mempengaruhi kebijakan pendidikan pd tingkat nasional dan regional, tentu termasuk Indonesia yg menyetujui sektor pendidikan diliberalisasi. Dg menjadikan pendidikan masuk sektor industri jasa, maka hukum2 ekonomi diberlakukan dan karena negara maju dan lembaga2 internasional membawa bendera neoliberal maka komersialisasi, marketisasi serta pasar bebas bidang pendidikan berlaku juga sehingga otomatis negara berkembang terperangkap dlm aturan, kriteria dan standar mereka sehingga menjadikan negara berkembang otomatis berada pada peringkat rendah. Mereka juga menentukan indikator2 termasuk HDI (human development index/IPM) yg menjadikan pendIdikan salah satunya (Indeks Pendidikan menggunakan AMH dan RLS), dan mayoritas negara berkembang adalah jajahan negara maju, maka mana mungkin bisa menyamai mereka, sehingga ini hanya menimbulkan stratifikasi bangsa berdasarkan standar yg mereka buat, ironisnta negara berkembang manggut aja bahkan terus bergerak mengejar ketertinggalan yg tak jelas hubungannta dg kekuatan dan kemajuan bangsa masing2, selain ngejar peringkat internasional dalam IPM, yg bila meningkat, majulah bangsa…

Kebjakan pendidikan global yg neoliberal mau tak mau menjadi suprastruktur bagi sustem pendidikan nasional diseluruh dunia, karena standarisasi internasional pendidikan yg dibuat negara maju melalui berbagai lembaganya telah diadopsi menjadi bagian dari kebijakan pendidikan nasional agar dapat menjadi bagian dunia global internasional dan berimplikasi pada diurutkannya possi pendidikannya dlm konteks globalisasi/internasionalisasi tersebut. Dg masuknya sektor pendidikan ke kancah global internasional telah mengakibatkan ketidak setaraan pendidikan antara negar maju (yg mayoritasnya para penjajah) dg negara berkembang (mayoritasnya yg dijajah). Ini juga cenderung melanggengkan ketimpangan, dulu penjajah dg yg dijajah, sekarang negara maju dg negara berkembang, yg secara esensial sama saja menunjukan hubungan kuasa/kekuasaan yg tetap didominasi negara maju/penjajah. Ini berimplikasi pada terintegrasinya sistem pendidikan, dimana pendidikan nasional dipandang sebagai sub sistem dunia/global, karena pendidikan diseluruh dunia memiliki, menggunakan standar yg sama. Sehingga kekhasan nilai2 dan budaya bangsa dlm pendidikan akan makin pudar bahkan hilang karena tak jadi kriteria srandar dlm sistem pendidikan suatu bangsa yg diakui secara global, bahkan kompetensi hasil pendidikan pun distandarkan dg dalih kompetensi abad 21, pasti tak ada Tuhan di dalamnya, padahal bagi bangsa indonesia iman takwa pada tuhan jadi tujuan pertama pendidikan nasional. Apakah untuk lebih sungguh2 dlm penguatan nilai budaya yg teistik kita harus nunggu sistem neoliberal global  memasukannya dlm indikator, standar2 pendidikan internasional.

Ketika sistem pendidikan mengadopsi, mengadaptasi  atau paling tidak mentransliterasi (menterjemahkan) berbagai arah, tujuan dan kebijakan global neoliberal bidang pendidikan, pada saat itu juga lembaga pendidikan/persekolahan memupuk kekuasaannya dg kerangka neoliberal. Lembaga2 pendidikan terus distandarkan melalui instrumen akreditasi untuk kemudian diperingkat, mutu dipetakan dg standar yg sama tanpa melihat konteks, kapasitas serta kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan karena ambisi mencapai peringkat baik sesuai yg dipersyaratkan, maka hal itu hanya menjadi medan subur manipulasi informasi, apalagi semua itu lebih banyak berputar pd soal teknis, instrumen, kriteria yg sama sekali tak memiliki atau sedikit efek saja pada mutu pendidikan dalam fakta (bukan dlm sertifikat peringkat). Hal ini seperti ingin meningkatkan mutu pendidikan tp tidak terkena langsung pada proses pendidikan/pembelajaeannya. Yg penting pendidik dan tenaga kependidikan sibuk (biarpun sering meninggalkan mengajar), maka pendidikan sedang ditingkatkan, ini tentu akan jadi ironi banget jika kesibukan itu hanya sekedar sedang menjalankan proyek pendidikan (bukan program pendidikan), menghabiskan dana pendidikan. Bimtek terus dilakukan seolah membangun pendidikan itu masalah teknis). Yg diperlukan adalah hal strategis dlm meningkatkan mutu pendidikan persekolahan, dan yg sangat diperlukan  sebenarnya serangan langsung pada proses pendidikan/pembelajaran, dan itu memerlukan fokus pada learning needs, segala sesuatu kebijakan harus yg memudahkan pd terpenuhinya hal tersebut, tanpa itu kita sedang menghabiskan dana pendidikan saja, yg dlm pandangan neoliberal yg penting efisien penggunaannya serta efektif pekerjaannya, tanpa atau kurang perhatikan proses dan hasil pendidikannya. Perlu analisis BC rasio sekalian, jangan2 tak ada hasil apapun pada peningkatan mutu, misalnya untuk diperoleh nilai UN (yg ditengarai juga menyuburkan manipulasi, ketak jujuran) rata2 5 habis berapa uang untuk diperolehnya, jangan sampai untuk nilai segitu gak banyak uang juga bisa tercapai, ibaratnya kalau ujian tidak lulus mah gak perlu sekolah…itu mungkin perspektif ekonomi pedidikan, namun Sekolah juga menjalankan atau pelaku kekuasaan yg cenderung buat vonis ttg mutu manusia dan kesuksesannya dimasa depan melalui berbagai langkah pendisiplinan..

Pendisiplinan merupakan mekanisme bekerjanya kekuasaan dg berbagai instrumennya. Dlm sistem pendidikan, akreditasi, UN,  PKB dan berbagai kebijakan sejenisnya merupakan pelaksanaan kekuasan yg masuk dlm struktus sistem mikro operasional pendidikan yg terhimpun dlm suatu organisasi/kelembagaan pendidikan, dan sekolah merupakan lembaga pendidikan utama yg menjadi objek (sekaligus juga sukjek) kekuasaan. Pengembangan (kadang pemaksaan) wacana yg terus menerus menumbuhkan pengetahuan baru pd seseorang bahwa ia harus begini jika ingin begitu (pendisiplinan diri), struktur sistem sudah menjerat kita, kesadaran diri, idealisme jadi tak bermakna lagi karena kehidupan dunia pendidikan sudah begitu mekanistik dan teknis, inilah kondisi yg disebut “kematian manusia”, dan analisis untuk memahaminya dusebut “Strukturalisme” (Foucault sering dikelompokan pada penganut aliran Ini).  Berbagai aspek lingkungan yg membentuk seseorang (identitas diri, kepribadian) dilebur dlm suatu struktur tunggal (UKG yg hanya 2 kompetensi lalu dipukul rata sebagai Kompetensi Guru. dan jadi dasar menentukan Mutu guru…Dimana personalitas dan sosialitas Guru???), tak peduli sekolah A, Sekolah B dan seterusnya memiliki perbedaan namun mereka harus melakukan hal yg sama, mereka dipetakan, diakreditasi, dan harus ikut UN (dg standar yg diterapkan sama seragam), dlm kondisi ini bukan esensi pendidikan yg beroperasi tapi hal teknis saja yg jd konsern misalnya UNBK, e-learning, dan penggunaan hal teknis lainnya. Ini pun masuk dan berefek pd individu pendidik (merasa, menjadi tak berdaya) karena strukturnya dipaksakan harus terlaksana. Misal Akred jadi tujuan diperolehnya peringkat dg cara apapun dg biaya besar, namun siapa yg peduli fakta prosesnya yg penting peringkatnya baik, efeknya tak signifikan, tak ada dlm perbaikan kontinyu proses pendidikan pembelajaran, sebab bagi sekolah yg penting dokumen (kejadian, kegiatan) nya ada dan cenderung diada adakan. dalam kondisi ini pendidik bergerak saja sesuai aturan dan prosedur, dia berprilaku tapi tidak bertindak (Behaviour not Action – Mechanistic not Professional).

Disamping pendisiplinan pada level kelembagaan (organisasi sekolah) oleh suprastruktur (struktur di atasnya), Sekolah juga merupakan lembaga yg memiliki sistem kerja dalam pendisiplinan peserta didik dan SDM pendidikan yg menjadi anggota organisasi sekolah. FOUCAULT mengemukakan tiga cara  pendisiplinan yaitu: 1) pengamatan, 2) normalisasi/standarisasi, dan 3) pemeriksaan/ujian. Di selolah, pengamatan, pengawasan merupakan fungsi yg melekat dlm proses pendidikan, konstruksi bangunan sekolah sering dirancang untuk dpt dg mudah pengawasan dilakukan baik untuk siswa maupun pendidik/tenaga kependidikan, bentuk “U” dg kantor disatu sisinya merupakan pola pengawasan yg langsung dan mudah dilakukan, sehingga begitu kepala sekolah atau guru keluar ruangan maka seluruh siswa/kelas dapat langsung diamati (masih banyak dijumpai model ini),  namun belakangan Pengamatan dilakukan dg gunakan teknologi CCTV,  karena makin kompleksnya struktur bangunan kelas, serta rancangan yg tidak didasarkan pada kebutuhan pendidikan, dimana bangunan dibuat sesuai ketersediaan tanah kosong, yg mau tak mau membuat pengamatan fisikal langsung sulit dilakukan. Pengamatan merupakan bentuk pendisiplinan yg dilakukan untuk menunjukan suatu kekuasaan dalam mengontrol prilaku objek kekuasaan dlm hal ini pendidik terhadap peserta didik. Pengamatan baik fisikal langsung maupun tak langsung (CCTV) tentu tak dilakukan terus menerus namun sesekali saja dg tak dapat diprediksi waktunya oleh yg diawasi, ini akan menimbulkan pengetahuan pada yg diamati bahwa dirinya selalu ada dalam pengamatan, dan ini akan mampu menunjukan berjalannya kekuasaan secara otomatis dan permanen. Hal ini diharapkan akan membangun pengawasan diri (“self surveillance”). Dlm konteks seperti ini pelanggaran terhadap norma tentu akan dapat hukuman, yg pada masa lalu hukuman fisik sering dilakukan, karena  tujuannya agar tidak mengulang lagi, namun ini hanya bermain di tataran perubahan stimulus negatif (behaviouristik), dan hukuman (fisik) dipandang paling langsung berefek pd prilaku siswa, wacana pengetahuan ttg ini terus berkembang dan meluas jadi wacana umum sehingga tak menimbulkan konflik bahkan orang tua yg anaknya mendapat hukuman sering justru memperkuat hukuman yg dilakukan disekolah., sehingga efeknya sangat kuat, namun ini juga didasarkan pada pengetahuan bahwa siswa itu adalah objek pendidikan/pembelajaran. Namun seiring berkembangnya pengetahuan ttg manusia dan pendidikan serta perkembangan sosial budaya masyarakat pola subjek-objek mengalami perubahan.

Dalam pandangan behaviorusme (menguat pasca perang dunia 2, 1950an), dominasi kekuasaan mutlak dipegang oleh pendidik, dan lingkungan merupakan instrumen yg tersedia dalam mendisiplinkan siswa. Siswa dipandang objek pendidikan dan manipulasi lingkungan melalui berbagai stimulus merupakan cara mengukuhkan kekuasaan sekolah terhadap peserta didik. Dlm konteks ini wacana pengetahuan umum bahwa sekolah mengobservasi, mengamati siswa dan hukuman fisik dipandang cara efektif mendisiplinkan, dan masyarakat juga berpandangan demikian, maka wacana di sekolah dan dimasyarakat nyambung sehingga tak terjadi konflik dalam melihat suatu kejadian dlm  proses pendidikan. Seiring berkembangnya masyarakat dan wacana pengetahuan yg mengkritisi pandangan behavioristik, ditambah dg penghargaan akan hak asasi manusia, maka observasi yg berujung pada hukuman fisik sebagai cara pendisiplinan, cenderung mengokohkan dominasi kuasa/kekuasaan sekolah (Pendidik), maka pendekatan akan pendidikan yg lebih menghargai manusia (peserta didik) makin menguat, ditambah dengan wacana yg makin kuat akan pemahaman anima rational (homo sapien/manusia sebagai makhluk yg berfikir), memperkuat wacana dan pemahaman bahwa manusia mampu mengolah informasi dg pemikirannya dan menafsirkannya, sehingga pemahaman kognitivisme (menguat sekitar thn 1980an) menguat ditambah dukungan otoritas formal kekuasaan (kebijakan pemerintah) maka pendisiplinan dilakukan dg memberi pemahaman akan menyimpangnya sesuatu prilaku tindakan, dan setelah faham diharapkan tidak diulang lagi. Pendekatan fokus pada kesadaran kognitif rasionalistik. Perkembangan selanjutnya adalah konstruktivis (berkembang sekitar 1990an), dimana penafsir informasi dlm pendidikan, pembelajaran perlu dibarengi dg keterlibatan peserta didik dlm mengkonstruksi atau membangun pengetahuan, cara ini jelas sangat empiristik karena keterlibatan langsung dalam memperoleh informasi, mengolahnya dan mengkomunikasikannya hanya terkait dg dunia empiris, yg dalam kategori besarnya masuk ilmu2 kealaman, inilah yg jadi pendekatan saintifik dlm Kurtilas, yg jika tak hati hati akan mendegradasi ilmu2 normatif (agama, etika, moral, budi pekerti) karena ilmu seperti ini dasarnya adalah “verstehen and belieft” (pemahaman, dogmatis, taken for geanted), sementara ilmu2 kealaman lebih pada erklaren (penjelasan, menerangkan), yg fokusnya pd pensiplinan fikiran, sedan ilmu normatif dimaksudkan untuk pendisiplinan prilaku tindakan, melalui pemahaman keyakinan yg membimbing tindakan.

Pendisiplinan dg cara pengamatan serta penyimpangan diperbaiki dg hukuman fisik merupakan teknik pengontrolan prilaku dg tujuan pada efek jera, dan ini dipandang tidak bersifat mendidik karena akan menimbulkan dendam atau imitasi kekerasan dlm menyelesaikan masalah, dlm kondisi ini kuasa didominasi oleh sekolah (pendidik), dan siswa dipandang sebagai objek pendidikan. Seiring dg penghargaan pada HAM serta perlindungan pada manusia yg lebih kuat tanpa lihat usia ataupun gender, status serta posisi hukumnya (seperti UU perlindungan anak, UU tetang KDRT), maka wacana pendidikanpun mengalami perubahan dimana aspek rasional, pemahaman dlm perbaikan prilaku menyimpang menjadi wacana  dominan (Kognitivisme, Konstruktivisme), dan makin kuat setelah kekuasaan legal dominan (kebijakan pendidikan pemerintah/negara) mendukungnya. hal ini memerlukan waktu tentunya, sehingga masih sering terjadi konflik episteme (dlm makna pemahaman), dimana masih ada pendidik yg berpemahaman lama gunakan fisik dlm pendisiplinan, sementara orang tua berpemahaman baru ttg HAM dan UU perlindungan lainnya. Sehingga sekolah, pendidik memandang pendisiplinan fisik merupakan cara koreksi yg masih efektif, sementara orang tua memandangnya sebagai pelanggaran, yg lebih diprihatinkan ketika hal itu langsung jadi masalah hukum, padahal ini bisa diselesaikan melalui dialog, dan itu cara yg lebih manusiawi dlm kondisi transisi dimana kekuasaan negara masuk wilayah pendidikan melalui jalur hukum umum, yg pendidik tidak (cukup) dibekali pengetahuan tentangnya dan juga tak terlalu penting bila pemahaman pendidikan terus dikembangkan di sekolah tuk menggeser dari siswa sebagai objek menjadi sebagai subjek, serta bagaimana menyeimbangkannya (sama sekali bukan saling mengganti) sesuai konteks peserta didik,  dan ilmu pendidikan serta berbagai studinya yg  menyediakan hal tersebut..

Cara pendisiplinan berikutnya adalah Normalisasi/Standarisasi. Merupakan penetapan norma2/standar2 yg menjadi dasar penilaian. Dlm konteks sekolah normalisasi merupakan mekanisme mendistribusikan kemampuan, kompetensi yg kemudian digunakan sebagai pemeringkatan. Standar prestasi seperti KKM merupakan pemisah antara yg berprestasi dan tidak. Demikian juga norma2, tara tertib prilaku disusun untuk melihat perbandingannya dg praktek tindakan siswa di sekolah dan kemudian melakukan pendisiplinan (reward and punishment) jika ada penyimpangan. Dengan begitu norma, standar yg ditetapkan merupakan praktek kekuasaan dalam upaya pengkategorian siswa yg berprestasi dg yg tidak, yg baik dengan yg buruk, dimana ini tentu berefek pada klasifikasi manusia dlm masyarakat. Bahkan sekolah juga telah mengelompokan masyarakat pada manusia terdidik (yg bersekolah) dg manusia yg tak terdidik (tak bersekolah) dan ini dukuatkan dg berbagai hal posisi, kerja yg dikaitkan dg pendudikan, sehingga membentuk wacana umum akan harus nya bersekolah atau “sekolah tak bisa dihindari” untuk berada dlm klas tertentu serta dpt peluang yg sama di masyarakat. Cara berikutnya dlm pendisiplinan adalah pemeriksaan/ujian. Pemeriksaan akan belajar siswa dilakukan dg ujian untuk kemudian dilakukan penilaian, siswa disuruh berjyang, bersaing dg teman2 nya, kompetisi terjadi disini. Foucault menyatakan bahwa ujian merupakan mekanisme evaluasi dan perbandingan secara simultan yg terjalin dalam sekolah melalui ritual kekuasaan yg terulang secara konstan (martono). Sepandai apapun siswa dlm belajar jika tak ujian gak kan pernah jadi kelompok terdidik dimasyarakat karena sekolahlah yg berkuasa menentukannya dg sehelai kertas ijazah, dan tak ujian tak ada ijazah, dan sebaliknya bisa terjadi. Kondisi seperti itu (pendisiplinan) juga terjadi pada Pendidik sebagai Pegawai/pekerja (profesional) tentunya…dlm hubungan kekuasaan yg berbeda..BERSAMBUNG

Pendidik/guru, dan tenaga kependidikan di sekolah juga menglami pendisiplinan melalui pengamatan (bertingkat), dan ini juga pada dasarnya merupakan hubungan kuasa yg mengendalikan prilaku tindakan dalam menjalankan proses pendidikan. Berbagai panduan dalam administrasi pendidikan/pembelajaran,  pakaian seragam, masuk kelas, materi ajar serta kompetensinya, bahkan pengembangan profesi diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan keseragaman, kepercayaan pd pengembangan diri sebagai pekerja profesional yg menuntut kepercayaan dan otonomi menjadi kecil, semua harus diatur, seiolah pendidikan itu sekedar masalah teknis birokrasi, padahal itu pekerjaan profesional dimana otonomi keilmuan menjadi ukuran utamanya, namun kekuasaan terus meraksuk kedalamnya (kontradiksi dg desentralisasi pendidikan dan otonomi sekolah dg MBS nya yg masih berlaku, PP 19/2005), ditambah instrumen tunjangan profesi yg jadi instrumen menakuti para guru agar berprilaku dlm keseragaman yg tinggi (terdapat kecenderungan tunjprof jadi instrumen pengendalian  prilaku tindakan pendidik yg berarti mengatur jantungnya proses pendidikan, pembelajaran).  Disamping dg cara pengamatan, pendisiplinan pendidik juga dilakukan dg cara normalisasi/stansarisasi dan pemeriksaan/ujian.

Pendisiplinan dg cara normalisasi, standarisasi pada pendidik adalah melalui berbagai norma, pedoman yg dimaksudkan untuk penyeragaman dlm berbagai aspek tindakan pendidik/guru, dari mulai administrasi sampai dg tindakan dalam organisasi sekolah, bahkan mengajar pun terus didorong untuk distandarkan melalui pelatihan model, metode mengajar serta pemanfaatan berbagai teknologi pembelajaran, yg dijadikan sebagai ukuran pembelajaran yg baik, dg selalu mengacu pada tuntutan global, perkembangan teknologi, serta kompetisi yg dipandang akan makin ketat, tanpa melihat jenjang serta keadaan sesudah selesai sekolah sebenarnya mereka akan hidup dimana?. Semua itu kemudian diperiksa, dievaluasi oleh mereka yg berkewenangan yg menunjukan hubungan kekuasaan yg umumnya bersifat formal serta berorientasi dokumen, soal bagaimana praktek mengajarnya (yg sebenarnya inilah esensi mutu pendidikan/pembelajaran) tidak atau kurang mendapat perhatian. Yg penting administrasi lengkap, hadir ke sekolah optimal, soal bagaimana di kelas tak jadi soal EGP. Inilah masalah yg strategis sebenarnya, semua pendidik bergerak sibuk dg urusan teknis, administratif berbagai penataran (yg sering meninggalkan mengajar) seolah pendidikan sedang dibangun dan makin maju, padahal kondisi itu mengakibatkan pendidik/guru makin berkurang perhatiannya pada siswa (belajar siswa), mereka cenderung lebih memikirkan diri sendiri dan atasannya agar berbagai kewajiban formal mendapat apresiasi dari suprastruktur pendidikan. Ini terjadi karena dominasi wacana pendidikan yg teknis bukan yg strategis…masalah teknis pendidikan mengalahkan masalah straregis yg penting 24 jam ngajar, bukan bagaimana mengajarnya, Padahal inilah yg strategis karena guru itu adalah tenaga profesional yg harus fokus pada siswa sebagai client nya….seorang dokter profesional tak diukur dari banyaknya pasen yg diobati, tapi dari bagaimana melayani pasen dan bagaimana mengobatinya  Itulah profesionalitas (keprofesian), bukan tukang obat, atau tukang ngajar, atau tukang ngawas..dsb kerja pertukangan…BERSAMBUNG.

Komentar Dinonaktifkan pada Krisis Pendidikan (6)

Krisis Pendidikan (5)

Krangka fikir bukanlah sesuatu yg muncul dari dlm diri individu, namun itu masuk terbentuk melalui faktor luar yakni pengetahuan dan kekuasaan. Foucault menjadikan kekuasaan sebagai perhatian utama, dimana dlm pandangannya, keberadaan individu dan masyarakat, serta komponen lain dlm dunia sosial hanya dapat ditelaah melalui hubungannya dg kekuasaan (Martono, 2014). Kekuasaan mengacu pd hubungan pengaruh mempengaruhi (bukan hanya dlm makna negara/pemerintah), dan tersebar, terdistribusi dalam masyarakat. Oleh karena itu kekuasaan bersifat divergen/menyebar dan tidak hanya ada di satu tempat tertentu. Kekuasaan punya kemampuan menciptakan sistem pemikiran sehingga mampu membentuk pola fikir seseorang, kekuasaan dan pengetahuan saling mempengaruhi, pengetahuan akan membentuk sistem kekuasaan dan kekuasaan selalu muncul dan menjadi sistem kontrol yg membatasi aktivitas manusia, melalui wacana2 yg mampu mempengaruhi praktek sosial sehari hari. Kekuasaan dpt mewujudkan dirinya dg menghasilkan pengetahuan dan wacana tertentu yg dapat diinternalisasikan oleh individu serta membimbing prilaku masyarakat. Kondisi seperti inilah yg terjadi terkait efek neoliberalisme dlm pendidikan kita. Kekuasaan yg tersebar serta pengetahuan dan wacana neolib yg dikondisikan oleh globalisasi serta adaptasi kekuasaan legal formal terhadapnya, menjadikan pengetahuan pendidikan bangsa dan wacananya makin pudar (seperti pemikiran Kartini, Akhmad Dahlan, Ki hajar, M Syafii, Rahmah El Yunusiah, Dewi Sartika dll), sehingga penyelenggaraan pendidikan cenderung sama dg di negara maju, yg membedakannya hanya ketertinggalannya saja…

Suatu pengetahuan berkembang bukan hanya  karena substansinya yg penting, namun  dukungan kekuasaan yg menjadikannya penting karena sejalan dg kepentingan kekuasaan. Kesaling terkaitan antara pengetahuan dg kekuasaan oleh Foucault disebut sebagai genealogi (genealogi kekuasaan). Kekuasaan perlu pengetahuan dan pengetahuan juga memerlukan kekuasaan agar dpt berkembang efektif dg wacana wacana yg memperkuatnya sehingga mampu membangun pola fikir serta berefek pd praktek2 sosial. Ini juga bermakna bahwa kekuasaan dg wacana saling terkait, dan membawa beberapa konsekwensi yaitu: 1) dapat membentuk klaim2 kebenaran, 2) dg klaim tsb memungkinkan lembaga2 sosial memanfaatkan teknologi dominasi untuk ngatur manusia, 3) membentuk subyektifikasi, menundukan subjek (manusia), membentuk identitas diri melalui kesadaran/pengetahuan diri, 4) secara intrinsik potensial akan menumbuhkan perlawanan dan menghasilkan subyektivitas baru melalui kompetisi (wacana, episteme) pd tingkat individu. Kekuasaan dapat mewujudkan dirinya secara positif dg memproduksi pengetahuan dan wacana tertentu yg dapat diinternalisasi oleh individu dan membimbing prilaku masyarakat. Misalnya kasus yg hangat ttg film G30S_PKI, jaman oede baru pertengahan film tersebut tak menimbulkan polemik, bahkan mendekati konflik seperti sekarang, karena pengetahuan ttg PKI yg didukung kekuasaan legal formal seperti itu, ilmuwan juga mayoritas membenarkannya, wacana2 pengetahuan juga mendukungnya, dan kalau pun ada yg tak dukung, itu hanya wacana minor yg tak dapat dukungan  masyarakat karena telah dibentuk pengetahuannya oleh kuasa kebenaran saat itu (interaksi pengetahuan dan kekuasaan). Tapi setelah reformasi film tersebut hilang dari peredaran karena dianggap menyimpang dan hanya menokohkan orang yg dibenci yg jadi alasan adanya gerakan reformasi. Kebebasan dan efek neoliberal dg gerakan HAM menjadikan tumbuh pengetahuan dan wacana ttg perlunya kebebasan dan penghormatan HAM, termasuk korban yg dipandang PKI, ini membawa alasan Hukum tuk dijual pd masyarakat, namun mayoritas masyarakat masih berpandangan bahwa PKI Tetap bahaya yg harus diwaspadai dan Film tersebut dipandang sebagai upaya membangun kesadaran dan kewaspadaan akan bahaya tsb. Hal ini cenderung meruncing karena pemerintah/kekuasaan legal secara tersamar seperti membiarkan kelompok2 yg mengadvokasi PKI dg alasan HAM dan Hukum, ini makin runyam ketika Pemerintah juga mendorong dibuatnta Film baru ttg PKI yg dibaca sebagai pelurusan atas Film yg ada sekarang, padahal upaya apapun tak akan pernah buat sejarah itu benar sebenar benarnya, karena selalu ada aspek deskriptif dan interpretatif, deskriptif bisa dicocokan data2 dan saksi, namun penafsiran pasti sulit, jadi klw ada film baru akan dipandang sebagai versi kekuasaan Jokowi orde reformasi, dan yg ada versi suharto Orde Baru. Jadi gak kan pernah selesai, nanti kekuasaan baru lain lagi, dst..dst. Inilah yg juga pernah dikemukakan Foucault (genealogi kekuasaan/kajian hubungan kekuasaan dan Pengetahuan). Sejarah yang difahami di masa sekarang  sebenarnya bukanlah sejarah yg sebenarnya, ia merupakan sejarah yg telah dipoles sedemikian rupa oleh kekuasaan yg berkembang dimasanya, dan klw jokowi bikin, nanti akan dipandang begitu lagi. Oleh karena itu kita bicara deskripsinya saja bahwa PKI MELAKUKAN PEMBERONTAKAN DI MADIUN 1948, DAN UPAYA KUDETA 1965, dan dari jaman Suharto, Jokowi, serta penguasa selanjutnya berkecenderungan kuat akan sepakat itu. Interpretasinya silahkan kekuasaan mainkan apalagi Film nya yg sebagai karya seni.
Dlm pandangan Foucault dapat dikemukakan bahwa kuasa/kekuasaan selalu berkaitan dengan pengetahuan dan pengetahuan selalu bersinggungan dengan wacana atau diskursus, sehingga antara pengetahuan, wacana dan kekuasaan selalu bersifat relasional. Dalam konteks ini Kekuasaan tidak difahami dlm pengertian umum yg bersifat hirarki, namun terkait dg  sistem-sistem regulasi, aturan, menormalisas/ standarisasi serta bentuk pendisiplinan kehidupan individu dan sosial masyarakat.  Sementara itu Pengetahuan (dalam bahasa Inggrisnya Knowledge) memiliki cakupan yg luas tidak sekedar terbukanya objek terhadap subjek, namun mencakup banyak definisi tentangnya (Kamus Filsafat) : 1. Pengakuan tentang sesuatu, 2. Keakraban atau pengenalan sesuatu dari pengalaman aktual, 3. Persepsi yang jelas tentang apa yang dipandang sebagai fakta, kebenaran atau kewajiban, 4. Informasi dan/atau pelajaran yang disimpan, 5. Hal-hal yang disimpan dalam kesadaran seperti kepercayaan, ide-ide, bangunan konsep, pernyataan yg dianggap benar. Adapun Wacana menurut pengertian Foucault, adalah sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadangkala sebagai praktek regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan, wacana berarti sesuatu yang ditulis atau dikatakan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda, dan menandai hubungan/relasi. Paparan dan contoh terdahulu merupakan sebuah bukti bagaimana wacana kebenaran dibentuk dan diproduksi melalui sebuah proses-proses dan mekanisme-mekanisme kuasa. Bahwa wacana tidaklah bisa berdiri secara otonom dalam kerangka kebenaran objektif. Namun lebih dari itu wacana merupakan bagian yang inheren (tidak bisa dipisahkan) dari proses dan mekanisme kekuasaan.
Sementara kekuasaan dalam konteks ini bukanlah hal yang bersifat hierarkis. Semisal kekuasaan negara, kekuasaan aparat dan sebagainya. Namun kekuasaan ini diartikan sebagai ‘yang menormalisasi’, dan ‘yang mendisiplinkan”. Dan kekuasaan yang sedemikian itu menyebar dan beroperasi dalam mekanisme-mekanisme sosial yang ada. Dengan demikian tidak ada yang disebut sebagai subjek kuasa. Analisis kekuasaan, pengetahuan dan wacana merupakan cara yg ampuh untuk membedah praktek2 pendidikan modern, gagasan untuk menggunakan pendidikan sebagai sarana mengubah struktur dan hubungan sosial menunjukan sebuah transformasi besar dlm hubungan kekuasaan (Martono). Pendidikan/persekolahan cenderung  telah menjadi tempat memaksakan wacana pada siswa dg menggunakan guru dan kurikulum untuk mewujudkan kepentingan penguasa supra nasional yg berefek pd kebijakan nasional. Ketika pendidikan sejak awal kemerdekaan adalah dominan membangun manusia berakhlak, berkarakter, tiba2 penguasa membikin slogan lagi penguatan, tp pada saat yg sama hasrat bersaing secara individu, juga institusi terus didorong dg alasan kompetisi global, ini suatu yg ahistoris, kenapa bukan persaingan berbasis komunitas, bangsa yg dikuatkan dulu, dan ini memerlukan soliditas komunitas, bangsa, yg untuk itu penguatan akhlak dan atau karakter gotong royong harus jadi prioritas dalam pendidikan tuk membangun bangsa. Disinilah neoliberalisme yg mendorong kuatnya kapitalisme merasuk pada pengetahuan dan wacana yg kemudian diterima bahkan didukung oleh negara2 berkembang termasuk indonesia…dg kondisi ini kita tinggal menunggu pudarnya nilai budaya bangsa, kita cenderung ingin masuk budaya global dg budaya global dan kita makin kurang pede masuk budaya global dg budaya nasional…itulah makna berbeda, dan itu perlu keberanian pemimpin bangsa.
Hal tersebut tentu saja sulit, tapi bukan tidak bisa, karena berbagai faktor yang berinteraksi serta berefek menekan secara sukarela. Emile Durkheim dan Karl Marx telah menunjukan bahwa Pendidikan sudah masuk dalam jaring Kuasa liberalisne, Kapitalisme, neoliberalisme, dimana posisinya lebih sebagai penyedia pekerja bagi kaum kapitalis, implikasi lebih jauhnya, mereka makin cenderung mendesakkan apa apa yang perlu diajarkan, dilatihkan pada peserta didik di sekolah melalui kurikulum, pelatihan guru yang relevan dg kepentingan industri, sehingga lulusan lembaga pendidikan tidak lagi berfikir keras untuk merancang character building, tapi lebih pada skill building yang dibutuhkan dunia industri (kapitalis). Sementara untuk pendidikan dasar/umum, kompetensi, literacy dan soft skill mereka juga mendiktenya, dan kita dg riang dan sadar memasyarakatkannya dalam bidang pendidikan,  tentu kita tak bisa berharap pada mereka (negara maju) untuk adanya soft skill iman dan takwa. Negara2 maju menjadi kiblat pendidikan negara berkembang, mereka mendikte standar yg perlu dipenuhi, yg otomatis pada saat itu juga pendidikan negara berkembang langsung ketinggalan, disini pendidikan sebagai pembudayaan (penanaman nilai, keimanan, ketakwaan, karakter) makin menjadi isu pinggiran, karena yg utama mengejar ketertinggalan dari negara maju, yg mereka gak ada sama sekali bicara iman takwa sebagai tujuan pendidikan. Disinilah jaring kekuasaan supra nasional (neoliberalisme)l makin membelit pendidikan negara berkembang. Kita harus lari mengejar mereka pada jalan yg mereka buat sendiri, bukan pada jalan yg  kita buat. Tak mungkin dahului mereka karena mereka juga berlari pd jalan yg mereka buat yg  tentu sudah faham dan terbiasa sekali dg kondisinya…BERSAMBUNG

Komentar Dinonaktifkan pada Krisis Pendidikan (5)