Filosofi Mudik

MUDIK adalah suatu kejadian sosial, dia juga bisa dilihat sebagai kejadian pendidikan, dia bukan proses terencana, namun bisa menjadi kejadian yg didalamnya ada internalisasi, sosialisasi nilai2 tertentu yg diwariskan masyarakat pd generasi penerus. Setiap masyarakat/bangsa akan selalu berusaha mempertahankan diri dlm identitas sosial budaya tertentu dan mem-propaganda-kannya untuk dapat diikuti, ditiru oleh budaya lain melalui berbagai cara dan dalam berbagai bidang kehidupan serta dlm semua unsurnya. Dlm konteks ini mudik terkait dg iedul fitri, merupakan contoh menarik penyucian budaya melalui pengaitan dg nilai Agama.  Ini merupakan kejadian pendidikan dlm model sosialisasi nilai nilai dlm simbol mudik. Tak diragukan lagi bahwa tak satupun ajaran islam yg menyatakan wajibnya mudik atau memandang bagian dari ajaran islam. Namun di dalamnya terselip atau tercakup nilai silaturahmi, hormat orang tua dan kedermawanan dg berbagi rezeki dengan keluarga, masyarakat yg telah mengeluarkan energi besar untuk tumbuh kembangnya Kita, saya anda kami kamu. Jika mereka mudik berarti keterikatan akan daerah yg membesarkan jadi terhubungkan dan ini menghindari manusia dari “hilap kana purwadaksina”,  sebab kultur barat yg egosentris cenderung melihat hubungan manusia dg manusia transaksional bahkan pd orang tua sendiri cenderung hubungan “keingatan” bersifat materialistik, padahal kehadiran adalah sesuatu yg tak bisa tergantikan.
Ditengah pragmatisme dan pemujaan efisiensi, MUDIK jadi gambaran bagaimana pengorbanan besar jadi sikap dan prilaku masyarakat untuk mencapai nilai-nilai perenial kemanusiaan. Manusia jadi sadar akan horizon waktu kehidupan, memberi makna padanya adalah esensi kemanusiaan, sagregasi, stratifikasi sosial karna pekerjaan, pendidikan dan kapasitas ekonomi lebur dalam kesatuan kemanusiaan, saya dan anda jadi kita, jadi kami, lem perekat kohesivitas sosial dalam dan antar keluarga serta masyarakat makin terbangun kuat betapapun nanti berpisah lagi namun lem itu akan selalu menariknya kembali. Ketika manusia lebih memikirkan saat ini dan masa depan hidup dan kehidupan, dia diingatkan akan masa lalu yg telah memberi makna pd kehidupan kita, memberi fondasi nilai prilaku kini dan memurnikan menguatkan harapan masa depan (bila gunakan istilah Dilthey, filsuf jerman), semua makna dan nilai itu jadi bentuk pemotivasian sosial untuk berjuang dan kembali. Ketika lokasi tinggal telah jadi alat stratifikasi sosial, maka Mudik menyatukannya, ketika ekonomi jadi alat stratifikasi sosial, maka mudik menguranginya, ketika pendidikan jadi alat stratifikasi sosial, maka mudik menyambungkannya. Ketika kita lebih sering bicara “hidupku-hidupmu”, mudik menjadikannya semua adalah “hidup kita, hidup kami” (Gotong royong), mudik memang bisa jadi obat egoisme, individualisme, dan keterasingan hidup di perkotaan, dia membangun ke”kita”an dan memperkuat kebersamaan, dia membanguan ke”ingat”an dan memperkuat per”saudara”an, dan tentu banyak lagi nilai yg bisa digali dari fenomena MUDIK (mungkin perlu buku khusus untuk menulisnya) , SEHINGGA ALANGKAH BODOHNYA KITA JIKA MASIH BERTANYA “UNTUK APA” “KACAPE CAPE”, “NANAHAAN”, mudik kan bisa kapan saja !!, nah yg begini gak faham MOMENTUM, sebagai kesadaran sosial, dan idul fitri dg mudiknya tlah terekontruksi kuat dlm budaya kita dg nilai nilai keagamaan di dalamnya, siapapun yg menghalanginya termasuk pemerintah akan KALAH, daripada kalah lebih baik berilah, perbaikilah terus fasilitas mudik, bantulah terus masyarakat untuk dg aman nyaman MUDIK, selamat Mudik dan semoga selamat kembali ke tempat masing2 dengan semangat dan motivasi yg terbarukan dan tercerahkan

Tentang Dr. Uhar Suharsaputra

KONSULTAN PENDIDIKAN PENELITI PENULIS
Pos ini dipublikasikan di Tidak Dikategorikan. Tandai permalink.